Selasa, 30 April 2013

Aku Hanya Berharap Bertemu denganmu, Bukan Mencarimu


Aku bukan penyair dan aku juga bukan penulis. Ini karya amatirku. Tapi ini untukmu yang tercinta. Aku harap kamu suka.
“Baru saja berakhir, hujan di sore ini. Memisahkan keajaiban, melawan indahnya pelangi”. Suara nyanyian Ipank dari radio tua di sebuah kafe tengah kota yang mungkin usianya hampir sama dengan usiaku saat ini, menemani soreku yang gerimis ini.
Ngomong-ngomong soal lagu itu, lagu itu mengingatkanku dengan masa dimana kita tidak perlu khawatir dengan penampilan kita, tentang baju apa yang kita pakai, tentang hidup, dan pikiran ingin tahu tentang apa yang dipikirkan orang tentang kita. Masa dimana aku bebas sebebas-bebasnya.
Hampir seluruh masa kecilku aku habiskan di kota Paris-nya Indonesia. Udara dingin dan sejuk, selalu menemaniku setiap harinya.
Pagi itu, entah hari apa, aku sudah lupa, yang jelas pagi itu merupakan pagi tercerah dalam hidupku. Burung, tumbuhan, angin, kupu-kupu seakan menyatu dalam sebuah harmoni. Pagi itu hari Jumat, seperti biasa aku sedang menunggu sepupu-sepupuku pulang dari sekolah. Masih pagi, masih cerah. Aku ingin bermain, tapi, aku tidak tau harus bermain apa karena tidak punya teman. Kemudian, aku memutuskan untuk pergi dengan sepeda dan keluar dari perumahanku menuju kebun teh Abahku. Abah merupakan panggilan seorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda. Kuambil sepeda tua berwarna pink peninggalan kakakku yang waktu itu sudah SMP.
“Sepeda itu masih cukup layak dipakai, jadi kamu pakai itu dulu”, kata ibuku ketika aku merengek minta dibelikan yang baru.
Tapi, sebenarnya sepeda ini juga tidak jelek-jelek amat. Keranjang putihnya masih bisa digunakan untuk menaruh barang dan belnya pun masih bisa berbunyi kring…kring,
“Bibi aku pergi dulu ya, mau jalan-jalan,” kataku sembari mengayuh sepeda meninggalkan rumah. Iya, aku tinggal bersama bibiku atau dalam bahasa Indonesia adalah adiknya Ayah, karena orang tuaku waktu itu sedang bekerja di kota lain. Jadi, ketika liburan aku selalu dititipkan kepadanya. Tak masalah juga bagiku. Aku senang tinggal bersamanya. Tingginya hampir sama seperti diriku yang sekarang, rambutnya ikal, kulitnya putih, dan matanya agak sedikit kecoklatan dengan senyum yang merekah. Jadi, kutinggalkannya tanpa harus menunggu jawaban darinya. Toh, nanti aku juga akan pulang.
Aku terus mengayuh sepedaku dengan kecepatan konstan, karena jalan yang kulalui sepi, jadi kukayuh lambat-lambat pedalnya. Jalan yang kulalui tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil, jalannya diaspal dengan rapi dan masih basah, karena tadi malam hujan turun cukup deras. Aku berhenti sebentar dan menyalakan musik dengan MP3 playerku dan memasang headsetku. Lalu kulanjutkan perjalanan sambil mendengarkan musik yang tidak terlalu ngebeat dari band terkenal masa itu, Ungu. Aku sedang menyanyikan beberapa bagian kesukaanku, ketika aku melihat jalan setapak yang sangat kecil dan hampir tak terlihat diantara pohon pinus itu.
Kemudian aku memutuskan untuk berhenti dan sekarang aku berdiri di atas sepedaku menghadap ke arah jalan setapak itu. Abahku bilang jangan pernah dekati hutan pinus yang ada di dekat kebuh teh itu, karena akan ada banyak binatang buas dan terkadang ada beberapa orang jahat di dalamnya. Entah Abahku berkata benar atau tidak, tapi, memang, hutan itu terlihat mengerikan dan menjanjikan bahwa di dalamnya ada binatang buas dan orang jahat. Hutannya sangat gelap, mungkin karena cahaya matahari tidak bisa masuk karena ditutupi oleh daun-daun pohon pinus. Pohon pinus di situ sangat tinggi dan besar, serta ditutupi kabut yang cukup tebal. Sedikit terlintas dipikiranku untuk membuktikan apakah perkataan Abahku itu benar atau tidak. Aku ragu. Namun, setelah beberapa lama berpikir, kenapa tidak aku coba? Toh aku juga punya Allah yang akan menyelamatkanku. Lalu, kuputuskan untuk memasukinya. Kutinggalkan sepedaku di mulut jalan setapak sebagai penanda jika aku tidak pernah kembali. Kutanggalkan MP3 playerku dan ku masukan ke saku kanan sweater Nike pinkku. Aku mulai memasuki jalan itu.
Tanah masih basah dan becek. Untung aku menggunakan sepatu kets Adidas jadi kakiku bebas dari lumpur. Jalannya gelap dan berkabut. Sambil terus berjalan, ku tutupi kepalaku dengan tudung sweaterku  dan kumasukkuan kedua tanganku ke dalam saku sweater karena aku tanganku mulai membeku. Aku tak tau sampai kapan akan berjalan dan dimanakah ujung dari jalan ini. Aku nekat dan terus berjalan.
Setelah beberapa lama berjalan aku mendengar ada suara katak, tapi, aku tidak yakin. Lalu aku memutuskan untuk berhenti sebentar dan menajamkan pendengaran. Setelah aku berhenti, ternyata yang aku dengar bukan hanya satu atau dua katak, tapi, banyak sekali suaranya yang saling bersautan. Abahku pernah memberiku dan semua saudaraku pelajaran tentang alam dan salah satunya adalah dimana ada katak, disitu ada air. Entah kenapa aku menjadi bersemangat dan aku mulai berlalri mengikuti suara katak itu. Aku terus berlari dan berlari. Namun, aku tidak menemukannya. Aku merasa putus asa, sebelum akhirnya suara hantaman hebat antar benda diikuti dengan gemericik air membuatku berpikir. Ya! Aku sudah dekat dan dengan langkah enteng aku mengikuti suaranya kembali.
Akhirnya, kutemukan asal suara-suara tadi. Wow! Ternyata suara tadi adalah suara lebih dari puluhan katak dipinggir sungai yang sedang membuat paduan suara. Banyak bunga berwarna kuning dan putih yang juga tumbuh di sana. Airnya jernih. Aku pun langsung menghambur ke sungai. Keadaannya seperti surga yang digambarkan oleh Abah. Ada kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga, ada pula burung-burung kecil di atas pohon pinusnya. Indah sekali. Serasa di langit ke tujuh.
“Hey!” suara teriakan yang membuyarkan kedamaianku.
Aku kaget dan langsung terjatuh ke belakang sambil mencari dari mana arah suara itu. Ternyata itu adalah suara teriakan seorang anak lelaki di atas rumah pohon. Dia memandangku sambil melotot. Ingin sekali aku lari dari sana, tapi, aku tak bisa karena kakiku terikat oleh akar-akar pohon yang ada di sana. Dia pun mulai meninggalkan tempatnya dan menuruni pohon menuju ke arahku. Aku sangat takut, tapi, aku juga tidak bisa lari.
Dia pun sampai di hadapanku, dan langsung merogoh saku celana gombrohnya dan mengeluarkan sebatang pisau berwarna perak yang masih mengkilap. Aku sangat takut. Aku takut di bunuh. Kemudian dia berjongkok di depanku dengan posisi akan meraih kaki-kakiku. Aku pikir dia akan memotong kakiku agar aku tidak bisa lari kemana-mana dan akan dimakannya aku sebagai tumbal, persembahan, atau entah apalah itu. Aku kira aku dibunuh, tapi, ternyata dia meraih akar-akar yang tanaman yang membelit kakiku dan memotongnya dengan pisau yang dia keluarkan tadi. Aku segera menarik kakiku kalau-kalau pikirnan yang aku pikirkan tadi benar adanya. Hanya berjaga-jaga saja. Kemudian, dia memandangiku dengan raut muka keheranan. Dalam keheningan sesaat itu, terdengar suara asing dari dalam perutku. Aku lupa kalau aku belum sarapan pagi, berarti aku lapar. Aku sampai lupa hal ini karena saking ketakutan. Dia pun mendengar suara perutku itu dan sedikit menyunggingkan bibirnya. Dia tersenyum. Aku keheranan, dan sebelum pikiranku melayang kemana-mana, dia berkata, “Ayo ikuti aku. Kamu pasti lapar,” katanya dengan nada ramah. Aku bingung setengah mati. Tapi, saat itu aku malas untuk berpikir terlalu jauh karena sudah sangat lapar dan aku memutuskan untuk mengikutinya menaiki pohon tadi. Ohya, menurut ingatanku, itu adalah salah satu pohon yang bukan pohon pinus. Kami pun makan bersama dengan roti selai.
Singkat cerita, kami berkenalan. Dia lebih tinggi dariku, dengan rambut lurus berwarna hitam, dan kurus. Namanya Raditya Siregar. Aku lupa nama tengahnya, tapi intinya, dia bermarga Siregar. Dia dari Batak dan menetap di Bandung karena orang tuanya mempunyai bisnis di Bandung. Dia baru pindah ke Bandung, sehingga dia tidak mempunyai teman. Aku bertanya padanya siapa yang menemukan tempat ini. Aku sangat penasaran, bertahun-tahun aku tinggal disekitarnya, tapi, kenapa bukan aku yang menemukannya dan bahkan aku tidak mengetahuinya. Dia memberitahuku bahwa ada seorang gadis seumuranku yang memberitahunya. Namanya Sinta. Aku hafal nama seluruh warga perumahanku berserta anak-anaknya, tapi, aku tidak pernah dengar yang namanya Sinta. Lama bercerita kesana kemari, akhirnya aku memutuskan untuk pulang, karena hari sudah sore dan sebelum aku di ceramahi oleh Bibi. Aku pamit dan aku berjanji akan bermain lagi dengannya besok.
Hari-hari selanjutnya aku datang ke sana dan kami bermain macam-macam permainan. Dia sangat baik. Sungguh, dia merupakan teman terbaikku. Pada intinya dia mengajarkanku tentang hidup, bagaimana cara menghadapinya. Serta bagaimana menentukan cita-cita. Dulu, cita-citaku adalah menjadi presiden, karena menurutku negara ini sangat amat membutuhkan orang-orang super yang bisa mengaturnya. Tapi, katanya, kemampuanku lebih super dari hanya menjadi seorang presiden. Aku benci dengannya ketika dia mengatakan itu. Kemudian aku bertanya padanya apa cita-citanya, dia ingin menjadi seorang ilmuan antariksa. Itu merupakan cita-cita yang tidak pernah terpikir dalam benakku dan saat itu juga, aku merubah cita-citaku. Cita-cita itu masih kupertahankan sampai sekarang. Mulai saat itu juga, aku merasa aku menyukainya, karena hanya dialah yang berhasil membantahku, keinginanku, dan argumenku. Dialah yang mengubah pandanganku tentang hidup.
Ya. Aku yakin bahwa aku mulai menyukainya. Tapi, entahlah dia menyukaiku atau tidak, yang jelas, dia selalu membicarakan tentang Sinta, gadis itu, yang membuatnya semangat menjalani hidupnya sekarang yang lebih berat dari yang lalu. Cuma Sinta yang bisa membuat dirinya tersenyum. Siapapun Sinta aku ingin bertemu dengannya. Ingin. Ingin sekali melihat siapakah orang yang bisa membuat seorang Adit tersenyum dan lebih kuat.
Suatu hari, aku datang lebih siang dari biasanya, karena aku harus mengemas barang. Orang tuaku sudah menjemputku. Itu artinya aku harus kembali ke kota rantauanku dan sampai sekarang aku masih menganggap bahwa kotaku yang sekarang adalah kota rantauan dan kota asalku adalah Bandung, padahal aku tidak dilahirkan di sana. Tapi, ya sudahlah.
Pagi itu, seperti biasa, dia sudah berada di sana duduk membelakangiku sambil memegang palet dan kuasnya. Di hadapannya terpampang sebuah kanvas yang cukup besar siap untuk disapu oleh kuasnya. Tapi, anehnya, kanvas itu masih bersih, masih putih dan belum digambari apapun. Aku penasaran, lalu akupun berlari kearahnya sambil berteriak memanggil namanya. Dia menoleh dan kutangkap ekspresi sedikit kaget di mukanya.
“Itu buat apa?” tanyaku padanya.
“Cuma iseng. Biasa,” jawabnya enteng.
“Kok masih kosong?” tanyaku lagi.
“Belum dapet inspirasi.” jawabnya lagi.
“Lukis aku aja,” kataku dengan nada bercanda. Lalu, tampangnya seperti sedang berpikir. Tak lama kemudian,
“Boleh aja. Kamu berdiri di sana ya,” katanya sambil menunjuk ke arah batu di pinggir sungai yang dikelilingi batu-batuan besar.
Kemudian aku menjelaskan bahwa aku hanya bercanda dan pastinya adalah ide buruk untuk melukisku, tapi, dia tetap memaksaku untuk duduk di atas batu tadi. Aku pun menurut. Aku pikir lukisan ini bisa jadi kenangan, lagipula dia pandai melukis dan lumayan bagus. Jadi, kenapa tidak?
Sudah satu minggu lebih aku berteman dengannya dan sebenarnya hari ini aku ingin mengatakan bahwa besok aku akan pulang. Tapi, aku tak bisa mengatakannya, aku pikir keliatannya tidaklah terlalu penting aku baginya, karena selama satu minggu ini dia selalu membicarakan tentang Sinta, yang bisa membuatnya tersenyum lagi dan lagi. Tapi, sampai sekarang aku tidak pernah bertemu dengannya.
Sambil dia melukis, seperti biasanya kami bercerita tentang apapun dan siapapun yang ada di benak kami. Kami selalu terbuka dan mengutarakan pendapat masing-masing. Saling support dan memberi harapan. Dulu, aku berpikir bahwa aku bodoh dan hanya bisa melawan saja. Tapi, sungguh, dia membuatku jatuh cinta dengan kalimatnya. Dia berkata bahwa, aku salah. Aku hanya melihat hidupku dari pandangan yang sama dengan orang lain. Dia mengajarkanku untuk melihat hidup dengan sudut pandang yang berbeda, dia memandang bahwa “rules are made to be broke” atau semua peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, itu menurutnya. Aku bingung, dia menjelaskan bahwa peraturan bukanlah segalanya yang akan membuatmu menuju keberhasilan. Terkadang kamu juga harus melawan beberapa peraturan untuk membuat keberhasilanmu menjadi lebih berarti. Ketika aku sedih karena teman-temanku mempunyai nilai dan ketrampilan lebih baik dari aku, dia hanya menjawab bahwa Tuhan Maha Adil setiap orang mempunyai jalannya sendiri untuk menuju kesuksesan. Tujuan akhirnya sama, yaitu ingin sukses dan berhasil, tapi, cara yang diberikan Tuhan untuk melakukannyalah yang berbeda. Dalam hal ini, kita harus beradu mental. Ikuti apa kata hatimu dan jangan pernah ragu. Ketika kamu mengikuti mimpi-mimpiku maka, Tuhan juga akan menyertaiku dan mimpi akan segera ada digenggamanku.
Ditengah-tengah waktu melukis itu, dia berlari menuju rumah pohon dan datang kembali membawa dua buah balon berwarna ungu dan biru. Aku masih ingat betul itu.
“Untuk apa balonnya? Kenapa kamu gak lanjut melukis?” teriakku penasaran.
Tapi, dia hanya terdiam dan tetap melakukan kesibukannya sendiri. Dia sedang menali ujung-ujung balon itu dengan tali berwarna putih dan menyobek kertas serta mengambil bolpoint. Dia memberikan secarik kertas, sebuah bolpoint, dan balon berwarna ungu itu padaku dan berkata,
“Kamu punya impiankan? Aku juga. Tulislah dikertas itu. Lalu lipat dan tali diujung tali satunya. Lalu, kita terbangkan. Balon siapa yang paling tinggi terbangnya, itulah impian yang akan berjalan mulus”
Lalu, aku mengikuti perkataannya, aku menulis impianku di kertas itu. Kemudian dia membantuku untuk menalinya dan kami terbangkan bersama. Untunglah balon kami tidak tersangkut di pohon. Tak lama setelah kami terbangkan balonnya, hujan turun. Aku membantunya untuk mengamankan seluruh alat melukisnya. Sudah beberapa jam berlalu, hujan masih mengguyur. Aku ingin pulang karena sudah tidak tahan dengan udara dingin yang menerpa. Aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah, persetan kalaupun harus lebih basah lagi. Ketika aku mengatakan padanya bahwa aku ingin pulang,
“Aku anter ya. Kan aku cowok. Lebih tua dari kamu lagi,” katanya sambil senyum.
“Gak perlu. Aku bisa sendiri,” jawabku menolak. Aku tidak mau merepotkan.
Akan tetapi, dia tetap memaksa. Ku biarkan dia mengantarku pulang walau harus berhujan-hujan ria sambil berlari. Sampai di rumah, aku mengajaknya untuk mampir, mengganti baju karena aku tinggal bersama abangku juga, jadi bisa meminjam baju atau sekedar menghangatkan badan. Akan tetapi, dia menolak. Ya sudahlah kubiarkan dia pergi.
Paginya sekitar jam 6 pagi, aku sudah siap di depan teras rumah berharap jika Adit akan datang untuk mengunjungiku atau sekedar ganti arena bermain, karena dia sudah tahu rumahku. Sambil berpamitan dengan keluarga besar, aku terus berharap dia akan datang. Hingga sudah waktunya berangkat menuju Jakarta, Adit tak kunjung datang. Dengan langkah berat aku berjalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan, aku melamun sambil mendengarkan MP3 playerku. Hingga aku sadar bahwa lukisan Adit untukku belum selesai. Tapi, apa boleh buat.
Aku telah sampai di Jakarta dan sedang bersiap untuk bertolak ke Yogkatarta menggunakan pesawat. Aku sedih berpisah dengannya. Akan tetapi, The show must go on, seperti katanya. Hidup masih terus berlanjut walau dia tidak senada dengan keinginan atau harapan kita.
Berbulan-bulan kemudian, tak ada kabar darinya. Tapi, suatu sore, di hari Minggu saat aku sedang membaca novel, Ayahku memanggilku dari dapur, katanya Bibi menelepon.
“Halo, Bi. Aya naon?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Ieu aya budak nyari kamu. Lalaki,” jawabnya.
“Saha etta namina?” tanyaku penasaran. Jujur waktu itu hatiku berdebar karena ku yakin kalau itu adalah Adit yang mencariku.
“Bibi teh teu ngartos. Budakna teu memberitahu.”
“Dia bilang apa, Bi?” tanyaku semakin penasaran.
“Ieu si budak memberi no HPna. Dia nyuruh kamu buat ngirimin nomermu ke dia.”
“Oke. Mana nomernya?” tanyaku tak sabar. Aku yakin ini dia. Ya, pasti dia.
Tak lama kemudian Bibi mengirimiku sebuah nomer dan aku tanpa berpikir panjang langsung mengirim sms kepadanya kalau ini memang aku. Aku menunggu balasan. Tapi, hingga malam hari tak kunjung dibalas. Aku mulai putus asa. Aku kira itu dia.
Seminggu kemudian, ada nomer baru yang masuk dalam HPku. Ya. Itu nomer Adit yang muncul. Aku sangat senang. Aku langsung membukanya dan membacanya. Bunyinya,
“Aku telah menyelesaikan lukisanmu itu. Kukirimkan gambarnya melalui emailmu yang kau berikan waktu itu. Kata Sinta itu bagus. Aku menyukainya dan dia juga suka sama aku. Tapi, dia tidak suka kamu. Benar katamu, ide buruk melukismu.
Seketika itu detak jantungku serasa berhenti sejenak, nadiku sudah tidak berdenyut, aku kaget.
Aku ingin sekali bertemu dengannya. Ingin sekali. Tapi bagaimana caranya? Seperti katanya, hanya ada satu cara, yaitu ikuti mimpi-mimpiku maka, Tuhan juga akan menyertaiku dan mimpi akan segera ada digenggamanku. Sekarang aku sedang mengikuti kata hati dan mimpiku, aku harap Tuhan juga sedang membangun harmoni bersamaku agar aku bisa menggenggam mimpiku dan memeluk dirimu.
Aku hanya berharap bertemu denganmu, bukan mencarimu. Sampai sekarang aku masih berharap. Terus berharap dan masih berharap.
Suara klakson motor Ninja merah milik Abangku membuyarkan kenanganku. Ternyata di sudah menjemputku. Aku pun mengambil tas unguku dan menyeruput kopiku untuk yang terakhir kalinya. Kemudian, aku berjalan dengan malas menuju pintu kafe dengan lampu berwarna-warni itu. Ku genggam kenop pintu kafe berwarna kuning keemasan dan sayup-sayup terdengar lagu terakhir dari radio tua itu, “We might find a place in this world someday, but at least for now, I’ve gotta go my own way.” Seulas senyum tipis mengiringi kepergianku sore itu.



Oleh : Ullvi Henida Setyaningsih






Saat Angan Hanyalah Sebuah Kenangan


Perjuangan tak ada yang sia-sia. Sepenggal kalimat itulah yang terus menerus kuucapkan dalam hati setiap kali niatku goyah dan ragu mulai menyisip. Dan seolah menjadi mantra, aku seperti mendapat semangat baru untuk melanjutkan perjuangan yang telah kumulai. Perjuangan untuk meningkatkan prestasi sebuah sekolah tanpa label favorit di daerahku.. Meski mutu pendidikan daerah kalah jauh dibandingkan sekolah-sekolah elite di kota, tapi keinginan itu tidak pernah padam. Justru terpuruknya pendidikan di daerah terpencil itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagiku. Kalau semua orang berpikiran untuk menimba ilmu di sekolah kota yang lebih baik, lantas siapa yang peduli pada sekolah non favorit di daerah pinggiran? Tak ada sepasang mata pun yang meliriknya, malah hanya akan membuatnya semakin bobrok. Dan aku memutuskan untuk menjadi pemilik sepasang mata itu….
*****
Beberapa tahun sebelumnya di halaman sebuah SMP favorit…..
“Hai,perkenalkan aku Neli. Nama kamu siapa?”, sebuah tangan terulur ke arahku. Aku yang sedang sibuk mengutak-atik hp mendongak menatap pemilik tangan itu. Seorang gadis cantik bertubuh tinggi yang tampak ceria. Seulas senyum sumringah tersungging di bibirnya. Matanya memancarkan binar semangat.
“Aku Amel”, balasku hangat sambil menyambut uluran tangannya. Dalam hati aku membatin, dia sepertinya akan menjadi teman yang menyenangkan. Meski aku baru mengenalnya, namun sikapnya yang ramah dan murah senyum membuatku nyaman.
Dalam sekejap, kami sudah asyik mengobrol. Mulai dari asal sekolah sampai kelas baru di SMP. Dan beruntungnya, aku ternyata sekelas dengan Neli, kelas 7-1. Tentu saja aku bersyukur, belum masuk kelas pun sudah punya satu teman baru yang menurutku cocok dengan tipe teman yang kusukai. Bukannya aku suka membeda-bedakan teman, namun menurutku kau tidak akan merasa nyaman bila orang yang kauanggap teman tidak pernah cocok dan sejalan denganmu.
Hari itu memang hari pertama masuk sekolah. dan bagiku hari pertama pula aku resmi memakai baju putih biru yang sudah sejak lama kudambakan. Murid-murid kelas 7 sejak pagi sudah berkumpul di depan aula, mencari nama mereka dalam daftar nama di setiap kelas. Beberapa kakak kelas yang tampak berwibawa dengan jas almamater sudah siap membantu bila diperlukan. Celoteh terdengar di mana-mana dan tidak lepas dari nada gabungan rasa senang, bangga dan tak sabar memulai kehidupan baru di sekolah menengah. Apalagi sekolahku sekarang termasuk sekolah berlabel favorit dan sulit ditembus dengan nilai pas-pasan. Aku benar-benar beruntung bisa berada di antara orang-orang dengan daya saing tinggi ini.
“Adik-adik yang sudah tahu kelasnya langsung masuk ke aula ya, ada pengarahan sebentar. Baris sesuai kelas kalian!”, instruksi kakak kelas sambil meminta kami satu persatu meninggalkan papan tempat daftar nama dipasang.
“Ayo”, ajak Neli bersemangat sambil menggamit lenganku. Terpaksa kuikuti langkahnya yang panjang-panjang masuk ke dalam aula. Di dalam, papan nama bertuliskan kelas diletakkan di blok masing-masing kelas, menandakan tempat berbaris siswa kelasnya. Kami segera membuat barisan di belakang papan nama “Kelas 7-1”.
Begitu barisan kami semakin panjang dengan bertambahnya anggota kelas, aku mengedarkan pandangan. Mengamati satu persatu siapa saja temanku selama 3 tahun ke depan. Karena di sini, tidak ada sistem pengacakan kelas setiap pergantian tahun ajaran.
Dan ternyata diantara anggota kelas 7-1 ada dua orang teman lama Neli. Dia langsung heboh begitu melihat kehadiran kedua temannya.
“Kalian?! Kalian kelas ini juga?”, tanyanya heboh saking bersemangatnya.
Senyumnya bertambah lebar begitu mendapat anggukan dua teman lamanya itu. Mereka sibuk mengobrol selama beberapa saat sebelum kemudian Neli menarikku dan memperkenalkan aku pada dua temannya. Dari situ aku tahu bahwa mereka teman SD Neli. Salah satunya bertubuh tinggi, kurus dan berkulit kecoklatan, namanya Aurel. Sedangkan yang satunya lebih pendek dan kulitnya putih bersih, namanya Frida. Di antara kedua soulmate nya itu, menurutku Neli lah yang paling cantik. Tubuhnya yang tinggi tapi kurus dan kulitnya yang putih disempurnakan dengan rambut bergelombang yang terawat. Dan Neli tipikal orang yang ceria,selalu ramai dan heboh, tapi aku sendiri juga bukan pendiam, sehingga Neli menjadi sosok teman yang cocok untuk mengimbangi kecerewetanku.
Sisa hari itu kuhabiskan berempat dengan Neli, Aurel, dan Frida. Seperti umumnya anak baru, kami kemana-mana selalu berempat. Mulai dari kantin sampai toilet. Bahkan di kelas kami menempati meja yang selalu berdekatan. Menyenangkannya punya teman baru.

*****
Dari hari ke hari, kedekatan kami bertambah. Tidak hanya selama di sekolah, kami banyak menghabiskan waktu di luar jam pelajaran, ikut ekstrakurikuler yang sama sampai membuat acara sendiri untuk kami berempat meski hanya sekedar jalan-jalan atau nonton film. Bahkan di kelas, kami punya jadwal tempat duduk yang hanya kami berempat yang tahu. Setiap harinya pasangan dudukku berganti-ganti. Hari Senin dengan Neli, Selasa dengan Aurel dan Rabu dengan Frida. Jadwal itu lalu berulang lagi untuk Hari Kamis, Jumat dan Sabtu. Kami membuat rincian secara mendetail tentang berbagai hal dan itu membuatku merasa tambah klop dengan mereka.
Saking dekatnya hubungan kami berempat, teman-teman sekelas kemudian mengira kami membentuk geng. Tentu saja anggotanya aku dengan ketiga soulmateku, apalagi kami sering pergi sendiri tanpa mengajak teman lain. Buatku, aku merasa sudah nyaman dengan ketiga temanku dan tak ingin merusak kenyamanan ini karena harus beradaptasi dengan teman lain. Tapi bukan berarti kami menutup diri dengan pertemanan lain, tapi kami sudah saling menyebut masing-masing dari kami dengan kata sahabat.

*****
Tahun pertama masuk ke sekolah baru memang tidak pernah menjadi tahun yang mudah, di semester pertama, aku terseok-seok mengikuti ritme belajar. Dan itu tidak hanya kualami sendiri, tapi ketiga sahabatku pun mengakui hal yang sama. Remidi demi remidi pun berdatangan, membuat kami kelimpungan mengejar nilai agar tidak merah di rapot.
Begitu rangkaian remidi setelah Ulangan Tengah Semester Ganjil berakhir, kami berkumpul di kantin. Tempat favorit untuk sekedar ngobrol dan bercerita tentang berbagai hal.
“Kayaknya kita perlu menambah jam belajar deh. Kalau seperti ini caranya, bisa-bisa rapot merah, dan kita habis dimarahi ortu”, ucap Neli tanpa semangat. Di antara kami berempat, Neli memang mendapat remidi paling banyak, dan itu membuatnya tertekan.
“Boleh juga tuh, kita belajar bersama saja biar semangat. Kalau les buatku gampang bosan soalnya tidak semangat”, timpal Frida. Sementara aku dan Aurel mengangguk setuju.                Jadilah siang itu kami berdiskusi di mana akan belajar bersama. Kebetulan sekolahku dekat dengan perpustakaan kota dan salah satu toko buku besar di kotaku, jadilah kami setuju untuk belajar bersama ini di perpustakaan kota.
*****
Semenjak hari itu, aku semakin sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar bersama para sahabatku. Setiap kesulitan pelajaran, kami hadapi bersama. Dan kalau ulangan berikutnya kami mendapat nilai bagus, kami bersyukur bersama. Kalau ternyata nilai kami masih belum memuaskan, kami justru terpacu untuk terus meningkatkan kemampuan kami. Dari situ aku mulai mengenal makna persahabatan yang sesungguhnya. .
*****
Tak terasa ini tahun terakhirku di SMP. Ya, aku dan ketiga sahabatku sudah kelas tiga. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kami mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional yang tinggal dalam hitungan bulan.
Hampir setiap hari kami les. Mulai dari pendalaman materi di sekolah sampai pelajaran tambahan di bimbel. Dan apapun bentuk lesnya, kami tetap solid berempat. Kami telah berkomitmen untuk susah dan senang bersama. Susah saat kami bingung menghadapi materi pelajaran dan senang apabila nantinya kami semua sukses menghadapi Ujian Nasional. Bahkan kami telah bercita-cita untuk masuk ke SMA yang sama, sekolah lanjutan berlabel favorit di kotaku.
Jika waktu dua tahun saja berlalu begitu cepat, bagaimana dengan hitungan beberapa bulan saja? Dalam sekejap, Ujian Nasional sudah berada di depan mata. Setelah jatuh bangun melewati berkali-kali Tes Pendalaman Materi, Try Out sampai Evaluasi dari pihak sekolah, aku merasa sudah siap menghadapi UN. Inilah ujian final yang akan menentukan masa depan pendidikanku selanjutnya. Ke mana aku harus melangkah.
*****
Dua hari sebelum Ujian Nasional, di Aula diadakan doa bersama dan seluruh siswa kelas 3 mohon doa restu pada para guru. Dalam sekejap, air mata dan isak tangis memenuhi aula. Aku juga tak bisa menahan air mata haru saat minta doa restu sambil menjabat tangan guru-guru yang selama ini membantuku mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Di akhir acara, para siswa kelas 3 saling berpelukan dan mengucapkan ‘semoga sukses’ pada teman masing-masing.
Di saat inilah, aku berpelukan dengan ketiga sahabatku. Pelukan erat masing-masing dari kami seolah tidak ingin melepaskan siapapun yang kami peluk dan ingin menghentikan waktu agar kami tidak perlu ujian, tidak perlu berpisah. Air mata turun semakin deras saat bergantian ketiga temanku memelukku dan berkata tepat di telingaku “Semoga sukses dan bertemu di sekolah impian kita”.
*****
Empat hari Ujian Nasional menjadi hari paling menegangkan dalam hidupku. Paling tidak aku merasa begitu, karena inilah Ujian Nasional pertamaku. Sebelumnya di tingkat SD, ujiannya hanyalah Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional , bukan UN. Karena itu wajar bila aku cukup khawatir akan kelancaran ujianku kali ini.
Untungnya, aku berhasil mengerjakan dengan lancar. Persiapanku selama berbulan-bulan ternyata tidak sia-sia. Aku merasa bisa mengerjakan sebagian besar soal yang diujikan. Dan ketika aku menanyakan hal yang sama pada ketiga sahabatku, jawaban yang kuterima pun sangat melegakan. Kami telah berhasil menaklukan Ujian Nasional pertama kami,
*****
Hari yang menegangkan bagi kami. Hari di mana hasil belajar kami selama tiga tahun akan dibagikan dan pada nilai itulah kami sepenuhnya menggantungkan cita-cita dan masa depan kami.
Meski hasil ujian baru akan dibagikan pukul 10.00, tapi satu jam sebelumnya kami sudah berkumpul, duduk berkelompok di depan kelas sambil sibuk merapal doa, mengharapkan hasil terbaik, bukan hasil sempurna tapi yang terbaik sesuai dengan usaha kami masing-masing.
Aku duduk melingkar dengan ketiga sahabatku. Tangan kami terkait satu sama lain, saling menguatkan dan menyemangati. Senyum cemas menghiasi wajah kami. Bahkan untuk sekedar bercanda seperti biasa pun, kami terlalu tegang.
Tepat pukul 10.00 orangtua kami beranjak masuk. Setelah pengarahan singkat, amplop berisi nilai kami dibagikan oleh wali kelas. Perasaan tak menentu berkecamuk di hatiku. Jujur, meski berdoa agar mendapat nilai terbaik sesuai usahaku tapi keinginan untuk mendapat hasil memuaskan tak dapat dipungkiri, apalagi bila hasil itu nantinya dapat menjadi tiket masuk kami ke sekolah favorit impian.
Satu persatu orangtua kami keluar. Begitu Ayahku keluar, beliau langsung menjabat tanganku. Pelukan erat menyambutku. Saat memelukku itulah, sebuah bisikan lembut menyapa telingaku “Selamat, nak”
Aku melepaskan pelukan dan meraih amplop yang disodorkan Ayah. Penasaran dengan nilai ku, buru-buru kubuka amplop dan kukeluarkan kertas berisi rincian nilaiku. Puji Tuhan, NEM ku 35,80. Bagiku itu nilai yang kudapat dari kerja keras, jadi aku merasa puas apapun hasilnya.
               Aku berpaling dan berusaha membaca ekspresi ketiga sahabatku. Satu persatu ketegangan di wajah mereka mulai mencair, terganti kelegaan dan kegembiraan yang meluap-luap. Terutama Aurel, siapa sangka ia mendapat nilai tertinggi sesekolah. Namun nasib baik tidak begitu berpihak pada Frida dan Neli. Meski nilai mereka tidak bisa dibilang buruk, namun untuk masuk ke sekolah favorit di Yogya kelihatannya cukup berat. Sebenarnya nilaiku sendiri juga tidak bisa dibilang aman. Jadi yang kulakukan hanya pasrah dan berdoa semoga Tuhan membantu jalanku untuk masuk ke sekolah yang kuinginkan.
               Kami saling berpelukan, menguatkan dan memberi selamat satu sama lain. Senyum lega membanjiri wajah kami. Harapan kami hanya satu, semoga kami semua diterima di sekolah favorit yang sama.
****
Harapan yang selamanya tetap menjadi angan. Selama 3 hari seleksi penerimaan murid baru, kami tidak berhasilkan meraih apa yang menjadi impian bersama kami. Aurel memang berhasil diterima di sekolah favorit yang kami dulu inginkan. Namun, aku, Neli, dan Frida tidaklah seberuntung dia. Kami harus menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita inginkan dalam hidup dapat terwujud.
`Dan disinilah aku. Murid sebuah sekolah pinggiran dengan fasilitas minim. Dan  tetap saja rasa sakit hati karena cita-cita yang kandas begitu saja masih ada dan membekas hingga sekarang. Apa yang kurang dari perjuanganku, perjuangan kami? Kenapa justru mereka yang tidak segigih kami dalam mempersiapkan Ujian Nasional lah yang  mendapat hasil lebih baik?
Tapi di sekolahku sekarang aku justru tertantang untuk berjuang meningkatkan mutu sekolah pinggiran. Berjuang agar kelak sekolah ini juga akan dilirik orang dan menjadi satu dari beberapa sekolah favorit yang menjadi incaran murid-murid pintar. Kedengarannya konyol, tapi masuk akal. Sulit direalisasikan tapi bukan tidak mungkin. Dan ini yang membuatku tetap bertahan dengan sisa-sisa semangat untuk terus melanjutkan perjuangan yang telah kumulai,
Mungkin ini cara Tuhan memperingatkanku, bahwa di atas langit masih ada langit. Bahwa aku juga harus mengakui keunggulan dan kehebatan orang lain. Dan lebih menghargai arti persahabatan.
Karena seberapapun jauhnya jarak memisahkan kita, selama perasaan saling memiliki masih terjaga di hati kita maka kata persahabatan tak akan pernah kehilangan maknanya.
***

 Oleh : Elizabeth Anita Wijayanti