Selasa, 30 April 2013

Saat Angan Hanyalah Sebuah Kenangan


Perjuangan tak ada yang sia-sia. Sepenggal kalimat itulah yang terus menerus kuucapkan dalam hati setiap kali niatku goyah dan ragu mulai menyisip. Dan seolah menjadi mantra, aku seperti mendapat semangat baru untuk melanjutkan perjuangan yang telah kumulai. Perjuangan untuk meningkatkan prestasi sebuah sekolah tanpa label favorit di daerahku.. Meski mutu pendidikan daerah kalah jauh dibandingkan sekolah-sekolah elite di kota, tapi keinginan itu tidak pernah padam. Justru terpuruknya pendidikan di daerah terpencil itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagiku. Kalau semua orang berpikiran untuk menimba ilmu di sekolah kota yang lebih baik, lantas siapa yang peduli pada sekolah non favorit di daerah pinggiran? Tak ada sepasang mata pun yang meliriknya, malah hanya akan membuatnya semakin bobrok. Dan aku memutuskan untuk menjadi pemilik sepasang mata itu….
*****
Beberapa tahun sebelumnya di halaman sebuah SMP favorit…..
“Hai,perkenalkan aku Neli. Nama kamu siapa?”, sebuah tangan terulur ke arahku. Aku yang sedang sibuk mengutak-atik hp mendongak menatap pemilik tangan itu. Seorang gadis cantik bertubuh tinggi yang tampak ceria. Seulas senyum sumringah tersungging di bibirnya. Matanya memancarkan binar semangat.
“Aku Amel”, balasku hangat sambil menyambut uluran tangannya. Dalam hati aku membatin, dia sepertinya akan menjadi teman yang menyenangkan. Meski aku baru mengenalnya, namun sikapnya yang ramah dan murah senyum membuatku nyaman.
Dalam sekejap, kami sudah asyik mengobrol. Mulai dari asal sekolah sampai kelas baru di SMP. Dan beruntungnya, aku ternyata sekelas dengan Neli, kelas 7-1. Tentu saja aku bersyukur, belum masuk kelas pun sudah punya satu teman baru yang menurutku cocok dengan tipe teman yang kusukai. Bukannya aku suka membeda-bedakan teman, namun menurutku kau tidak akan merasa nyaman bila orang yang kauanggap teman tidak pernah cocok dan sejalan denganmu.
Hari itu memang hari pertama masuk sekolah. dan bagiku hari pertama pula aku resmi memakai baju putih biru yang sudah sejak lama kudambakan. Murid-murid kelas 7 sejak pagi sudah berkumpul di depan aula, mencari nama mereka dalam daftar nama di setiap kelas. Beberapa kakak kelas yang tampak berwibawa dengan jas almamater sudah siap membantu bila diperlukan. Celoteh terdengar di mana-mana dan tidak lepas dari nada gabungan rasa senang, bangga dan tak sabar memulai kehidupan baru di sekolah menengah. Apalagi sekolahku sekarang termasuk sekolah berlabel favorit dan sulit ditembus dengan nilai pas-pasan. Aku benar-benar beruntung bisa berada di antara orang-orang dengan daya saing tinggi ini.
“Adik-adik yang sudah tahu kelasnya langsung masuk ke aula ya, ada pengarahan sebentar. Baris sesuai kelas kalian!”, instruksi kakak kelas sambil meminta kami satu persatu meninggalkan papan tempat daftar nama dipasang.
“Ayo”, ajak Neli bersemangat sambil menggamit lenganku. Terpaksa kuikuti langkahnya yang panjang-panjang masuk ke dalam aula. Di dalam, papan nama bertuliskan kelas diletakkan di blok masing-masing kelas, menandakan tempat berbaris siswa kelasnya. Kami segera membuat barisan di belakang papan nama “Kelas 7-1”.
Begitu barisan kami semakin panjang dengan bertambahnya anggota kelas, aku mengedarkan pandangan. Mengamati satu persatu siapa saja temanku selama 3 tahun ke depan. Karena di sini, tidak ada sistem pengacakan kelas setiap pergantian tahun ajaran.
Dan ternyata diantara anggota kelas 7-1 ada dua orang teman lama Neli. Dia langsung heboh begitu melihat kehadiran kedua temannya.
“Kalian?! Kalian kelas ini juga?”, tanyanya heboh saking bersemangatnya.
Senyumnya bertambah lebar begitu mendapat anggukan dua teman lamanya itu. Mereka sibuk mengobrol selama beberapa saat sebelum kemudian Neli menarikku dan memperkenalkan aku pada dua temannya. Dari situ aku tahu bahwa mereka teman SD Neli. Salah satunya bertubuh tinggi, kurus dan berkulit kecoklatan, namanya Aurel. Sedangkan yang satunya lebih pendek dan kulitnya putih bersih, namanya Frida. Di antara kedua soulmate nya itu, menurutku Neli lah yang paling cantik. Tubuhnya yang tinggi tapi kurus dan kulitnya yang putih disempurnakan dengan rambut bergelombang yang terawat. Dan Neli tipikal orang yang ceria,selalu ramai dan heboh, tapi aku sendiri juga bukan pendiam, sehingga Neli menjadi sosok teman yang cocok untuk mengimbangi kecerewetanku.
Sisa hari itu kuhabiskan berempat dengan Neli, Aurel, dan Frida. Seperti umumnya anak baru, kami kemana-mana selalu berempat. Mulai dari kantin sampai toilet. Bahkan di kelas kami menempati meja yang selalu berdekatan. Menyenangkannya punya teman baru.

*****
Dari hari ke hari, kedekatan kami bertambah. Tidak hanya selama di sekolah, kami banyak menghabiskan waktu di luar jam pelajaran, ikut ekstrakurikuler yang sama sampai membuat acara sendiri untuk kami berempat meski hanya sekedar jalan-jalan atau nonton film. Bahkan di kelas, kami punya jadwal tempat duduk yang hanya kami berempat yang tahu. Setiap harinya pasangan dudukku berganti-ganti. Hari Senin dengan Neli, Selasa dengan Aurel dan Rabu dengan Frida. Jadwal itu lalu berulang lagi untuk Hari Kamis, Jumat dan Sabtu. Kami membuat rincian secara mendetail tentang berbagai hal dan itu membuatku merasa tambah klop dengan mereka.
Saking dekatnya hubungan kami berempat, teman-teman sekelas kemudian mengira kami membentuk geng. Tentu saja anggotanya aku dengan ketiga soulmateku, apalagi kami sering pergi sendiri tanpa mengajak teman lain. Buatku, aku merasa sudah nyaman dengan ketiga temanku dan tak ingin merusak kenyamanan ini karena harus beradaptasi dengan teman lain. Tapi bukan berarti kami menutup diri dengan pertemanan lain, tapi kami sudah saling menyebut masing-masing dari kami dengan kata sahabat.

*****
Tahun pertama masuk ke sekolah baru memang tidak pernah menjadi tahun yang mudah, di semester pertama, aku terseok-seok mengikuti ritme belajar. Dan itu tidak hanya kualami sendiri, tapi ketiga sahabatku pun mengakui hal yang sama. Remidi demi remidi pun berdatangan, membuat kami kelimpungan mengejar nilai agar tidak merah di rapot.
Begitu rangkaian remidi setelah Ulangan Tengah Semester Ganjil berakhir, kami berkumpul di kantin. Tempat favorit untuk sekedar ngobrol dan bercerita tentang berbagai hal.
“Kayaknya kita perlu menambah jam belajar deh. Kalau seperti ini caranya, bisa-bisa rapot merah, dan kita habis dimarahi ortu”, ucap Neli tanpa semangat. Di antara kami berempat, Neli memang mendapat remidi paling banyak, dan itu membuatnya tertekan.
“Boleh juga tuh, kita belajar bersama saja biar semangat. Kalau les buatku gampang bosan soalnya tidak semangat”, timpal Frida. Sementara aku dan Aurel mengangguk setuju.                Jadilah siang itu kami berdiskusi di mana akan belajar bersama. Kebetulan sekolahku dekat dengan perpustakaan kota dan salah satu toko buku besar di kotaku, jadilah kami setuju untuk belajar bersama ini di perpustakaan kota.
*****
Semenjak hari itu, aku semakin sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar bersama para sahabatku. Setiap kesulitan pelajaran, kami hadapi bersama. Dan kalau ulangan berikutnya kami mendapat nilai bagus, kami bersyukur bersama. Kalau ternyata nilai kami masih belum memuaskan, kami justru terpacu untuk terus meningkatkan kemampuan kami. Dari situ aku mulai mengenal makna persahabatan yang sesungguhnya. .
*****
Tak terasa ini tahun terakhirku di SMP. Ya, aku dan ketiga sahabatku sudah kelas tiga. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kami mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional yang tinggal dalam hitungan bulan.
Hampir setiap hari kami les. Mulai dari pendalaman materi di sekolah sampai pelajaran tambahan di bimbel. Dan apapun bentuk lesnya, kami tetap solid berempat. Kami telah berkomitmen untuk susah dan senang bersama. Susah saat kami bingung menghadapi materi pelajaran dan senang apabila nantinya kami semua sukses menghadapi Ujian Nasional. Bahkan kami telah bercita-cita untuk masuk ke SMA yang sama, sekolah lanjutan berlabel favorit di kotaku.
Jika waktu dua tahun saja berlalu begitu cepat, bagaimana dengan hitungan beberapa bulan saja? Dalam sekejap, Ujian Nasional sudah berada di depan mata. Setelah jatuh bangun melewati berkali-kali Tes Pendalaman Materi, Try Out sampai Evaluasi dari pihak sekolah, aku merasa sudah siap menghadapi UN. Inilah ujian final yang akan menentukan masa depan pendidikanku selanjutnya. Ke mana aku harus melangkah.
*****
Dua hari sebelum Ujian Nasional, di Aula diadakan doa bersama dan seluruh siswa kelas 3 mohon doa restu pada para guru. Dalam sekejap, air mata dan isak tangis memenuhi aula. Aku juga tak bisa menahan air mata haru saat minta doa restu sambil menjabat tangan guru-guru yang selama ini membantuku mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Di akhir acara, para siswa kelas 3 saling berpelukan dan mengucapkan ‘semoga sukses’ pada teman masing-masing.
Di saat inilah, aku berpelukan dengan ketiga sahabatku. Pelukan erat masing-masing dari kami seolah tidak ingin melepaskan siapapun yang kami peluk dan ingin menghentikan waktu agar kami tidak perlu ujian, tidak perlu berpisah. Air mata turun semakin deras saat bergantian ketiga temanku memelukku dan berkata tepat di telingaku “Semoga sukses dan bertemu di sekolah impian kita”.
*****
Empat hari Ujian Nasional menjadi hari paling menegangkan dalam hidupku. Paling tidak aku merasa begitu, karena inilah Ujian Nasional pertamaku. Sebelumnya di tingkat SD, ujiannya hanyalah Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional , bukan UN. Karena itu wajar bila aku cukup khawatir akan kelancaran ujianku kali ini.
Untungnya, aku berhasil mengerjakan dengan lancar. Persiapanku selama berbulan-bulan ternyata tidak sia-sia. Aku merasa bisa mengerjakan sebagian besar soal yang diujikan. Dan ketika aku menanyakan hal yang sama pada ketiga sahabatku, jawaban yang kuterima pun sangat melegakan. Kami telah berhasil menaklukan Ujian Nasional pertama kami,
*****
Hari yang menegangkan bagi kami. Hari di mana hasil belajar kami selama tiga tahun akan dibagikan dan pada nilai itulah kami sepenuhnya menggantungkan cita-cita dan masa depan kami.
Meski hasil ujian baru akan dibagikan pukul 10.00, tapi satu jam sebelumnya kami sudah berkumpul, duduk berkelompok di depan kelas sambil sibuk merapal doa, mengharapkan hasil terbaik, bukan hasil sempurna tapi yang terbaik sesuai dengan usaha kami masing-masing.
Aku duduk melingkar dengan ketiga sahabatku. Tangan kami terkait satu sama lain, saling menguatkan dan menyemangati. Senyum cemas menghiasi wajah kami. Bahkan untuk sekedar bercanda seperti biasa pun, kami terlalu tegang.
Tepat pukul 10.00 orangtua kami beranjak masuk. Setelah pengarahan singkat, amplop berisi nilai kami dibagikan oleh wali kelas. Perasaan tak menentu berkecamuk di hatiku. Jujur, meski berdoa agar mendapat nilai terbaik sesuai usahaku tapi keinginan untuk mendapat hasil memuaskan tak dapat dipungkiri, apalagi bila hasil itu nantinya dapat menjadi tiket masuk kami ke sekolah favorit impian.
Satu persatu orangtua kami keluar. Begitu Ayahku keluar, beliau langsung menjabat tanganku. Pelukan erat menyambutku. Saat memelukku itulah, sebuah bisikan lembut menyapa telingaku “Selamat, nak”
Aku melepaskan pelukan dan meraih amplop yang disodorkan Ayah. Penasaran dengan nilai ku, buru-buru kubuka amplop dan kukeluarkan kertas berisi rincian nilaiku. Puji Tuhan, NEM ku 35,80. Bagiku itu nilai yang kudapat dari kerja keras, jadi aku merasa puas apapun hasilnya.
               Aku berpaling dan berusaha membaca ekspresi ketiga sahabatku. Satu persatu ketegangan di wajah mereka mulai mencair, terganti kelegaan dan kegembiraan yang meluap-luap. Terutama Aurel, siapa sangka ia mendapat nilai tertinggi sesekolah. Namun nasib baik tidak begitu berpihak pada Frida dan Neli. Meski nilai mereka tidak bisa dibilang buruk, namun untuk masuk ke sekolah favorit di Yogya kelihatannya cukup berat. Sebenarnya nilaiku sendiri juga tidak bisa dibilang aman. Jadi yang kulakukan hanya pasrah dan berdoa semoga Tuhan membantu jalanku untuk masuk ke sekolah yang kuinginkan.
               Kami saling berpelukan, menguatkan dan memberi selamat satu sama lain. Senyum lega membanjiri wajah kami. Harapan kami hanya satu, semoga kami semua diterima di sekolah favorit yang sama.
****
Harapan yang selamanya tetap menjadi angan. Selama 3 hari seleksi penerimaan murid baru, kami tidak berhasilkan meraih apa yang menjadi impian bersama kami. Aurel memang berhasil diterima di sekolah favorit yang kami dulu inginkan. Namun, aku, Neli, dan Frida tidaklah seberuntung dia. Kami harus menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita inginkan dalam hidup dapat terwujud.
`Dan disinilah aku. Murid sebuah sekolah pinggiran dengan fasilitas minim. Dan  tetap saja rasa sakit hati karena cita-cita yang kandas begitu saja masih ada dan membekas hingga sekarang. Apa yang kurang dari perjuanganku, perjuangan kami? Kenapa justru mereka yang tidak segigih kami dalam mempersiapkan Ujian Nasional lah yang  mendapat hasil lebih baik?
Tapi di sekolahku sekarang aku justru tertantang untuk berjuang meningkatkan mutu sekolah pinggiran. Berjuang agar kelak sekolah ini juga akan dilirik orang dan menjadi satu dari beberapa sekolah favorit yang menjadi incaran murid-murid pintar. Kedengarannya konyol, tapi masuk akal. Sulit direalisasikan tapi bukan tidak mungkin. Dan ini yang membuatku tetap bertahan dengan sisa-sisa semangat untuk terus melanjutkan perjuangan yang telah kumulai,
Mungkin ini cara Tuhan memperingatkanku, bahwa di atas langit masih ada langit. Bahwa aku juga harus mengakui keunggulan dan kehebatan orang lain. Dan lebih menghargai arti persahabatan.
Karena seberapapun jauhnya jarak memisahkan kita, selama perasaan saling memiliki masih terjaga di hati kita maka kata persahabatan tak akan pernah kehilangan maknanya.
***

 Oleh : Elizabeth Anita Wijayanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar