Perjuangan tak ada yang sia-sia.
Sepenggal kalimat itulah yang terus menerus kuucapkan dalam hati setiap kali
niatku goyah dan ragu mulai menyisip. Dan seolah menjadi mantra, aku seperti
mendapat semangat baru untuk melanjutkan perjuangan yang telah kumulai.
Perjuangan untuk meningkatkan prestasi sebuah sekolah tanpa label favorit di
daerahku.. Meski mutu pendidikan daerah kalah jauh dibandingkan sekolah-sekolah
elite di kota, tapi keinginan itu tidak pernah padam. Justru terpuruknya
pendidikan di daerah terpencil itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagiku.
Kalau semua orang berpikiran untuk menimba ilmu di sekolah kota yang lebih
baik, lantas siapa yang peduli pada sekolah non favorit di daerah pinggiran?
Tak ada sepasang mata pun yang meliriknya, malah hanya akan membuatnya semakin
bobrok. Dan aku memutuskan untuk menjadi pemilik sepasang mata itu….
*****
Beberapa tahun sebelumnya di halaman
sebuah SMP favorit…..
“Hai,perkenalkan aku Neli. Nama kamu
siapa?”, sebuah tangan terulur ke arahku. Aku yang sedang sibuk mengutak-atik
hp mendongak menatap pemilik tangan itu. Seorang gadis cantik bertubuh tinggi
yang tampak ceria. Seulas senyum sumringah tersungging di bibirnya. Matanya
memancarkan binar semangat.
“Aku Amel”, balasku hangat sambil
menyambut uluran tangannya. Dalam hati aku membatin, dia sepertinya akan
menjadi teman yang menyenangkan. Meski aku baru mengenalnya, namun sikapnya
yang ramah dan murah senyum membuatku nyaman.
Dalam sekejap, kami sudah asyik mengobrol.
Mulai dari asal sekolah sampai kelas baru di SMP. Dan beruntungnya, aku
ternyata sekelas dengan Neli, kelas 7-1. Tentu saja aku bersyukur, belum masuk
kelas pun sudah punya satu teman baru yang menurutku cocok dengan tipe teman
yang kusukai. Bukannya aku suka membeda-bedakan teman, namun menurutku kau
tidak akan merasa nyaman bila orang yang kauanggap teman tidak pernah cocok dan
sejalan denganmu.
Hari itu memang hari pertama masuk
sekolah. dan bagiku hari pertama pula aku resmi memakai baju putih biru yang
sudah sejak lama kudambakan. Murid-murid kelas 7 sejak pagi sudah berkumpul di
depan aula, mencari nama mereka dalam daftar nama di setiap kelas. Beberapa
kakak kelas yang tampak berwibawa dengan jas almamater sudah siap membantu bila
diperlukan. Celoteh terdengar di mana-mana dan tidak lepas dari nada gabungan
rasa senang, bangga dan tak sabar memulai kehidupan baru di sekolah menengah.
Apalagi sekolahku sekarang termasuk sekolah berlabel favorit dan sulit ditembus
dengan nilai pas-pasan. Aku benar-benar beruntung bisa berada di antara
orang-orang dengan daya saing tinggi ini.
“Adik-adik yang sudah tahu kelasnya
langsung masuk ke aula ya, ada pengarahan sebentar. Baris sesuai kelas
kalian!”, instruksi kakak kelas sambil meminta kami satu persatu meninggalkan
papan tempat daftar nama dipasang.
“Ayo”, ajak Neli bersemangat sambil
menggamit lenganku. Terpaksa kuikuti langkahnya yang panjang-panjang masuk ke
dalam aula. Di dalam, papan nama bertuliskan kelas diletakkan di blok
masing-masing kelas, menandakan tempat berbaris siswa kelasnya. Kami segera
membuat barisan di belakang papan nama “Kelas 7-1”.
Begitu barisan kami semakin panjang
dengan bertambahnya anggota kelas, aku mengedarkan pandangan. Mengamati satu
persatu siapa saja temanku selama 3 tahun ke depan. Karena di sini, tidak ada
sistem pengacakan kelas setiap pergantian tahun ajaran.
Dan ternyata diantara anggota kelas
7-1 ada dua orang teman lama Neli. Dia langsung heboh begitu melihat kehadiran
kedua temannya.
“Kalian?! Kalian kelas ini juga?”,
tanyanya heboh saking bersemangatnya.
Senyumnya bertambah lebar begitu
mendapat anggukan dua teman lamanya itu. Mereka sibuk mengobrol selama beberapa
saat sebelum kemudian Neli menarikku dan memperkenalkan aku pada dua temannya.
Dari situ aku tahu bahwa mereka teman SD Neli. Salah satunya bertubuh tinggi,
kurus dan berkulit kecoklatan, namanya Aurel. Sedangkan yang satunya lebih
pendek dan kulitnya putih bersih, namanya Frida. Di antara kedua soulmate nya
itu, menurutku Neli lah yang paling cantik. Tubuhnya yang tinggi tapi kurus dan
kulitnya yang putih disempurnakan dengan rambut bergelombang yang terawat. Dan
Neli tipikal orang yang ceria,selalu ramai dan heboh, tapi aku sendiri juga
bukan pendiam, sehingga Neli menjadi sosok teman yang cocok untuk mengimbangi
kecerewetanku.
Sisa hari itu kuhabiskan berempat
dengan Neli, Aurel, dan Frida. Seperti umumnya anak baru, kami kemana-mana
selalu berempat. Mulai dari kantin sampai toilet. Bahkan di kelas kami
menempati meja yang selalu berdekatan. Menyenangkannya punya teman baru.
*****
Dari hari ke hari, kedekatan kami
bertambah. Tidak hanya selama di sekolah, kami banyak menghabiskan waktu di luar
jam pelajaran, ikut ekstrakurikuler yang sama sampai membuat acara sendiri
untuk kami berempat meski hanya sekedar jalan-jalan atau nonton film. Bahkan di
kelas, kami punya jadwal tempat duduk yang hanya kami berempat yang tahu.
Setiap harinya pasangan dudukku berganti-ganti. Hari Senin dengan Neli, Selasa
dengan Aurel dan Rabu dengan Frida. Jadwal itu lalu berulang lagi untuk Hari
Kamis, Jumat dan Sabtu. Kami membuat rincian secara mendetail tentang berbagai
hal dan itu membuatku merasa tambah klop dengan mereka.
Saking dekatnya hubungan kami
berempat, teman-teman sekelas kemudian mengira kami membentuk geng. Tentu saja
anggotanya aku dengan ketiga soulmateku, apalagi kami sering pergi sendiri
tanpa mengajak teman lain. Buatku, aku merasa sudah nyaman dengan ketiga
temanku dan tak ingin merusak kenyamanan ini karena harus beradaptasi dengan
teman lain. Tapi bukan berarti kami menutup diri dengan pertemanan lain, tapi
kami sudah saling menyebut masing-masing dari kami dengan kata sahabat.
*****
Tahun pertama masuk ke sekolah baru
memang tidak pernah menjadi tahun yang mudah, di semester pertama, aku
terseok-seok mengikuti ritme belajar. Dan itu tidak hanya kualami sendiri, tapi
ketiga sahabatku pun mengakui hal yang sama. Remidi demi remidi pun
berdatangan, membuat kami kelimpungan mengejar nilai agar tidak merah di rapot.
Begitu rangkaian remidi setelah
Ulangan Tengah Semester Ganjil berakhir, kami berkumpul di kantin. Tempat
favorit untuk sekedar ngobrol dan bercerita tentang berbagai hal.
“Kayaknya kita perlu menambah jam
belajar deh. Kalau seperti ini caranya, bisa-bisa rapot merah, dan kita habis
dimarahi ortu”, ucap Neli tanpa semangat. Di antara kami berempat, Neli memang
mendapat remidi paling banyak, dan itu membuatnya tertekan.
“Boleh juga tuh, kita belajar bersama
saja biar semangat. Kalau les buatku gampang bosan soalnya tidak semangat”,
timpal Frida. Sementara aku dan Aurel mengangguk setuju. Jadilah siang itu kami berdiskusi
di mana akan belajar bersama. Kebetulan sekolahku dekat dengan perpustakaan
kota dan salah satu toko buku besar di kotaku, jadilah kami setuju untuk belajar
bersama ini di perpustakaan kota.
*****
Semenjak hari itu, aku semakin sering
menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar bersama para sahabatku. Setiap
kesulitan pelajaran, kami hadapi bersama. Dan kalau ulangan berikutnya kami
mendapat nilai bagus, kami bersyukur bersama. Kalau ternyata nilai kami masih
belum memuaskan, kami justru terpacu untuk terus meningkatkan kemampuan kami.
Dari situ aku mulai mengenal makna persahabatan yang sesungguhnya. .
*****
Tak terasa ini tahun terakhirku di
SMP. Ya, aku dan ketiga sahabatku sudah kelas tiga. Bisa dibayangkan betapa
sibuknya kami mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional yang tinggal dalam
hitungan bulan.
Hampir setiap hari kami les. Mulai
dari pendalaman materi di sekolah sampai pelajaran tambahan di bimbel. Dan
apapun bentuk lesnya, kami tetap solid berempat. Kami telah berkomitmen untuk
susah dan senang bersama. Susah saat kami bingung menghadapi materi pelajaran
dan senang apabila nantinya kami semua sukses menghadapi Ujian Nasional. Bahkan
kami telah bercita-cita untuk masuk ke SMA yang sama, sekolah lanjutan berlabel
favorit di kotaku.
Jika waktu dua tahun saja berlalu
begitu cepat, bagaimana dengan hitungan beberapa bulan saja? Dalam sekejap,
Ujian Nasional sudah berada di depan mata. Setelah jatuh bangun melewati
berkali-kali Tes Pendalaman Materi, Try Out sampai Evaluasi dari pihak sekolah,
aku merasa sudah siap menghadapi UN. Inilah ujian final yang akan menentukan
masa depan pendidikanku selanjutnya. Ke mana aku harus melangkah.
*****
Dua hari sebelum Ujian Nasional, di
Aula diadakan doa bersama dan seluruh siswa kelas 3 mohon doa restu pada para
guru. Dalam sekejap, air mata dan isak tangis memenuhi aula. Aku juga tak bisa
menahan air mata haru saat minta doa restu sambil menjabat tangan guru-guru
yang selama ini membantuku mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Di
akhir acara, para siswa kelas 3 saling berpelukan dan mengucapkan ‘semoga
sukses’ pada teman masing-masing.
Di saat inilah, aku berpelukan dengan
ketiga sahabatku. Pelukan erat masing-masing dari kami seolah tidak ingin
melepaskan siapapun yang kami peluk dan ingin menghentikan waktu agar kami
tidak perlu ujian, tidak perlu berpisah. Air mata turun semakin deras saat
bergantian ketiga temanku memelukku dan berkata tepat di telingaku “Semoga
sukses dan bertemu di sekolah impian kita”.
*****
Empat hari Ujian Nasional menjadi
hari paling menegangkan dalam hidupku. Paling tidak aku merasa begitu, karena
inilah Ujian Nasional pertamaku. Sebelumnya di tingkat SD, ujiannya hanyalah Ujian
Akhir Sekolah Berstandar Nasional , bukan UN. Karena itu wajar bila aku cukup
khawatir akan kelancaran ujianku kali ini.
Untungnya, aku berhasil mengerjakan
dengan lancar. Persiapanku selama berbulan-bulan ternyata tidak sia-sia. Aku merasa
bisa mengerjakan sebagian besar soal yang diujikan. Dan ketika aku menanyakan
hal yang sama pada ketiga sahabatku, jawaban yang kuterima pun sangat
melegakan. Kami telah berhasil menaklukan Ujian Nasional pertama kami,
*****
Hari yang menegangkan bagi kami. Hari
di mana hasil belajar kami selama tiga tahun akan dibagikan dan pada nilai
itulah kami sepenuhnya menggantungkan cita-cita dan masa depan kami.
Meski hasil ujian baru akan dibagikan
pukul 10.00, tapi satu jam sebelumnya kami sudah berkumpul, duduk berkelompok
di depan kelas sambil sibuk merapal doa, mengharapkan hasil terbaik, bukan
hasil sempurna tapi yang terbaik sesuai dengan usaha kami masing-masing.
Aku duduk melingkar dengan ketiga
sahabatku. Tangan kami terkait satu sama lain, saling menguatkan dan menyemangati.
Senyum cemas menghiasi wajah kami. Bahkan untuk sekedar bercanda seperti biasa
pun, kami terlalu tegang.
Tepat pukul 10.00 orangtua kami
beranjak masuk. Setelah pengarahan singkat, amplop berisi nilai kami dibagikan
oleh wali kelas. Perasaan tak menentu berkecamuk di hatiku. Jujur, meski berdoa
agar mendapat nilai terbaik sesuai usahaku tapi keinginan untuk mendapat hasil
memuaskan tak dapat dipungkiri, apalagi bila hasil itu nantinya dapat menjadi
tiket masuk kami ke sekolah favorit impian.
Satu persatu orangtua kami keluar.
Begitu Ayahku keluar, beliau langsung menjabat tanganku. Pelukan erat
menyambutku. Saat memelukku itulah, sebuah bisikan lembut menyapa telingaku
“Selamat, nak”
Aku melepaskan pelukan dan meraih
amplop yang disodorkan Ayah. Penasaran dengan nilai ku, buru-buru kubuka amplop
dan kukeluarkan kertas berisi rincian nilaiku. Puji Tuhan, NEM ku 35,80. Bagiku
itu nilai yang kudapat dari kerja keras, jadi aku merasa puas apapun hasilnya.
Aku
berpaling dan berusaha membaca ekspresi ketiga sahabatku. Satu persatu
ketegangan di wajah mereka mulai mencair, terganti kelegaan dan kegembiraan
yang meluap-luap. Terutama Aurel, siapa sangka ia mendapat nilai tertinggi
sesekolah. Namun nasib baik tidak begitu berpihak pada Frida dan Neli. Meski
nilai mereka tidak bisa dibilang buruk, namun untuk masuk ke sekolah favorit di
Yogya kelihatannya cukup berat. Sebenarnya nilaiku sendiri juga tidak bisa
dibilang aman. Jadi yang kulakukan hanya pasrah dan berdoa semoga Tuhan
membantu jalanku untuk masuk ke sekolah yang kuinginkan.
Kami
saling berpelukan, menguatkan dan memberi selamat satu sama lain. Senyum lega
membanjiri wajah kami. Harapan kami hanya satu, semoga kami semua diterima di
sekolah favorit yang sama.
****
Harapan yang selamanya tetap menjadi
angan. Selama 3 hari seleksi penerimaan murid baru, kami tidak berhasilkan
meraih apa yang menjadi impian bersama kami. Aurel memang berhasil diterima di
sekolah favorit yang kami dulu inginkan. Namun, aku, Neli, dan Frida tidaklah seberuntung
dia. Kami harus menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita inginkan dalam
hidup dapat terwujud.
`Dan disinilah aku. Murid sebuah
sekolah pinggiran dengan fasilitas minim. Dan
tetap saja rasa sakit hati karena cita-cita yang kandas begitu saja
masih ada dan membekas hingga sekarang. Apa yang kurang dari perjuanganku,
perjuangan kami? Kenapa justru mereka yang tidak segigih kami dalam mempersiapkan
Ujian Nasional lah yang mendapat hasil
lebih baik?
Tapi di sekolahku sekarang aku justru
tertantang untuk berjuang meningkatkan mutu sekolah pinggiran. Berjuang agar
kelak sekolah ini juga akan dilirik orang dan menjadi satu dari beberapa
sekolah favorit yang menjadi incaran murid-murid pintar. Kedengarannya konyol,
tapi masuk akal. Sulit direalisasikan tapi bukan tidak mungkin. Dan ini yang
membuatku tetap bertahan dengan sisa-sisa semangat untuk terus melanjutkan
perjuangan yang telah kumulai,
Mungkin ini cara Tuhan
memperingatkanku, bahwa di atas langit masih ada langit. Bahwa aku juga harus
mengakui keunggulan dan kehebatan orang lain. Dan lebih menghargai arti
persahabatan.
Karena seberapapun jauhnya jarak
memisahkan kita, selama perasaan saling memiliki masih terjaga di hati kita
maka kata persahabatan tak akan pernah kehilangan maknanya.
***
Oleh : Elizabeth Anita Wijayanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar