Aku
bukan penyair dan aku juga bukan penulis. Ini karya amatirku. Tapi ini untukmu
yang tercinta. Aku harap kamu suka.
“Baru
saja berakhir, hujan di sore ini. Memisahkan keajaiban, melawan indahnya pelangi”.
Suara nyanyian Ipank dari radio tua di sebuah kafe tengah kota yang mungkin
usianya hampir sama dengan usiaku saat ini, menemani soreku yang gerimis ini.
Ngomong-ngomong
soal lagu itu, lagu itu mengingatkanku dengan masa dimana kita tidak perlu
khawatir dengan penampilan kita, tentang baju apa yang kita pakai, tentang
hidup, dan pikiran ingin tahu
tentang apa yang dipikirkan orang tentang kita. Masa dimana aku bebas
sebebas-bebasnya.
Hampir
seluruh masa kecilku aku habiskan di kota Paris-nya Indonesia. Udara dingin dan
sejuk, selalu menemaniku setiap harinya.
Pagi
itu, entah hari apa, aku sudah lupa, yang jelas pagi itu merupakan pagi
tercerah dalam hidupku. Burung, tumbuhan, angin, kupu-kupu seakan menyatu dalam
sebuah harmoni. Pagi itu hari Jumat, seperti biasa aku sedang menunggu
sepupu-sepupuku pulang dari sekolah. Masih pagi, masih cerah. Aku ingin
bermain, tapi, aku tidak tau harus bermain apa karena tidak punya teman.
Kemudian, aku memutuskan untuk pergi dengan sepeda dan keluar dari perumahanku
menuju kebun teh Abahku. Abah merupakan panggilan seorang yang lebih muda
kepada orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda. Kuambil sepeda tua berwarna
pink peninggalan kakakku yang waktu itu sudah SMP.
“Sepeda
itu masih cukup layak dipakai, jadi kamu pakai itu dulu”, kata ibuku ketika aku
merengek minta dibelikan yang baru.
Tapi,
sebenarnya sepeda ini juga tidak jelek-jelek amat. Keranjang putihnya masih
bisa digunakan untuk menaruh barang dan belnya pun masih bisa berbunyi
kring…kring,
“Bibi
aku pergi dulu ya, mau jalan-jalan,”
kataku sembari mengayuh sepeda meninggalkan rumah. Iya, aku tinggal bersama
bibiku atau dalam bahasa Indonesia adalah adiknya Ayah, karena orang tuaku waktu
itu sedang bekerja di kota lain. Jadi, ketika liburan aku selalu dititipkan
kepadanya. Tak masalah juga bagiku. Aku senang tinggal bersamanya. Tingginya
hampir sama seperti diriku yang sekarang, rambutnya ikal, kulitnya putih, dan
matanya agak sedikit kecoklatan dengan senyum yang merekah. Jadi,
kutinggalkannya tanpa harus menunggu jawaban darinya. Toh, nanti aku juga akan pulang.
Aku
terus mengayuh sepedaku dengan kecepatan konstan, karena jalan yang kulalui
sepi, jadi kukayuh lambat-lambat pedalnya. Jalan yang kulalui tidak terlalu
besar dan juga tidak terlalu kecil, jalannya diaspal dengan rapi dan masih basah,
karena tadi malam hujan turun cukup deras. Aku berhenti sebentar dan menyalakan
musik dengan MP3 playerku dan
memasang headsetku. Lalu kulanjutkan
perjalanan sambil mendengarkan musik yang tidak terlalu ngebeat dari band terkenal masa itu, Ungu. Aku sedang
menyanyikan beberapa bagian kesukaanku, ketika aku melihat jalan setapak yang
sangat kecil dan hampir tak terlihat diantara pohon pinus itu.
Kemudian
aku memutuskan untuk berhenti dan sekarang aku berdiri di atas sepedaku
menghadap ke arah jalan setapak itu. Abahku bilang jangan pernah dekati hutan
pinus yang ada di dekat kebuh teh itu, karena akan ada banyak binatang buas dan
terkadang ada beberapa orang jahat di dalamnya. Entah Abahku berkata benar atau
tidak, tapi, memang, hutan itu terlihat mengerikan dan menjanjikan bahwa di
dalamnya ada binatang buas dan orang jahat. Hutannya sangat gelap, mungkin
karena cahaya matahari tidak bisa masuk karena ditutupi oleh daun-daun pohon
pinus. Pohon pinus di situ sangat tinggi dan besar, serta ditutupi kabut yang
cukup tebal. Sedikit terlintas dipikiranku untuk membuktikan apakah perkataan
Abahku itu benar atau tidak. Aku ragu. Namun, setelah beberapa lama berpikir,
kenapa tidak aku coba? Toh aku juga punya Allah yang akan menyelamatkanku.
Lalu, kuputuskan untuk memasukinya. Kutinggalkan sepedaku di mulut jalan setapak
sebagai penanda jika aku tidak pernah kembali. Kutanggalkan MP3 playerku dan ku masukan ke saku
kanan sweater Nike pinkku. Aku mulai memasuki jalan itu.
Tanah
masih basah dan becek. Untung aku menggunakan sepatu kets Adidas jadi kakiku
bebas dari lumpur. Jalannya gelap dan berkabut. Sambil terus berjalan, ku tutupi
kepalaku dengan tudung sweaterku dan kumasukkuan kedua tanganku ke dalam saku sweater
karena aku tanganku mulai membeku. Aku tak tau sampai kapan akan berjalan dan
dimanakah ujung dari jalan ini. Aku nekat dan terus berjalan.
Setelah
beberapa lama berjalan aku mendengar ada suara katak, tapi, aku tidak yakin.
Lalu aku memutuskan untuk berhenti sebentar dan menajamkan pendengaran. Setelah
aku berhenti, ternyata yang aku dengar bukan hanya satu atau dua katak, tapi,
banyak sekali suaranya yang saling bersautan. Abahku pernah memberiku dan semua
saudaraku pelajaran tentang alam dan salah satunya adalah dimana ada katak,
disitu ada air. Entah kenapa aku menjadi bersemangat dan aku mulai berlalri
mengikuti suara katak itu. Aku terus berlari dan berlari. Namun, aku tidak
menemukannya. Aku merasa putus asa, sebelum akhirnya suara hantaman hebat antar
benda diikuti dengan gemericik air membuatku berpikir. Ya! Aku sudah dekat dan
dengan langkah enteng aku mengikuti suaranya kembali.
Akhirnya,
kutemukan asal suara-suara tadi. Wow! Ternyata suara tadi adalah suara lebih
dari puluhan katak dipinggir sungai yang sedang membuat paduan suara. Banyak
bunga berwarna kuning dan putih yang juga tumbuh di sana. Airnya jernih. Aku
pun langsung menghambur ke sungai. Keadaannya seperti surga yang digambarkan
oleh Abah. Ada kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga, ada pula
burung-burung kecil di atas pohon pinusnya. Indah sekali. Serasa di langit ke
tujuh.
“Hey!”
suara teriakan yang membuyarkan
kedamaianku.
Aku
kaget dan langsung terjatuh ke belakang sambil mencari dari mana arah suara itu. Ternyata
itu adalah suara teriakan seorang anak lelaki di atas rumah pohon. Dia
memandangku sambil melotot. Ingin sekali aku lari dari sana, tapi, aku tak bisa
karena kakiku terikat oleh akar-akar pohon yang ada di sana. Dia pun mulai
meninggalkan tempatnya dan menuruni pohon menuju ke arahku. Aku sangat takut,
tapi, aku juga tidak bisa lari.
Dia
pun sampai di hadapanku, dan langsung merogoh saku celana gombrohnya dan
mengeluarkan sebatang pisau berwarna perak yang masih mengkilap. Aku sangat
takut. Aku takut di bunuh. Kemudian dia berjongkok di depanku dengan posisi
akan meraih kaki-kakiku. Aku pikir dia akan memotong kakiku agar aku tidak bisa
lari kemana-mana dan akan dimakannya aku sebagai tumbal, persembahan, atau
entah apalah itu. Aku kira aku dibunuh, tapi, ternyata dia meraih akar-akar
yang tanaman yang membelit kakiku dan memotongnya dengan pisau yang dia keluarkan
tadi. Aku segera menarik kakiku kalau-kalau pikirnan yang aku pikirkan tadi
benar adanya. Hanya berjaga-jaga saja. Kemudian, dia memandangiku dengan raut
muka keheranan. Dalam keheningan sesaat itu, terdengar suara asing dari dalam
perutku. Aku lupa kalau aku belum sarapan pagi, berarti aku lapar. Aku sampai
lupa hal ini karena saking ketakutan. Dia pun mendengar suara perutku itu dan
sedikit menyunggingkan bibirnya. Dia tersenyum. Aku keheranan, dan sebelum pikiranku
melayang kemana-mana, dia berkata, “Ayo ikuti aku. Kamu pasti lapar,” katanya dengan nada ramah. Aku bingung
setengah mati. Tapi, saat itu aku malas untuk berpikir terlalu jauh karena
sudah sangat lapar dan aku memutuskan untuk mengikutinya menaiki pohon tadi.
Ohya, menurut ingatanku, itu adalah salah satu pohon yang bukan pohon pinus.
Kami pun makan bersama dengan roti selai.
Singkat
cerita, kami berkenalan. Dia lebih tinggi dariku, dengan rambut lurus berwarna
hitam, dan kurus. Namanya Raditya Siregar. Aku lupa nama tengahnya, tapi intinya, dia bermarga Siregar.
Dia dari Batak dan menetap di Bandung karena orang tuanya mempunyai bisnis di
Bandung. Dia baru pindah ke Bandung, sehingga dia tidak mempunyai teman. Aku
bertanya padanya siapa yang menemukan tempat ini. Aku sangat penasaran,
bertahun-tahun aku tinggal disekitarnya, tapi, kenapa bukan aku yang
menemukannya dan bahkan aku tidak mengetahuinya. Dia memberitahuku bahwa ada
seorang gadis seumuranku yang memberitahunya. Namanya Sinta. Aku hafal nama seluruh warga perumahanku
berserta anak-anaknya, tapi, aku tidak pernah dengar yang namanya Sinta. Lama
bercerita kesana kemari, akhirnya aku memutuskan untuk pulang, karena hari
sudah sore dan sebelum aku di ceramahi oleh Bibi. Aku pamit dan aku berjanji
akan bermain lagi dengannya besok.
Hari-hari
selanjutnya aku datang ke sana dan kami bermain macam-macam permainan. Dia
sangat baik. Sungguh, dia merupakan teman terbaikku. Pada intinya dia
mengajarkanku tentang hidup, bagaimana cara menghadapinya. Serta bagaimana
menentukan cita-cita. Dulu, cita-citaku adalah menjadi presiden, karena
menurutku negara ini sangat amat membutuhkan orang-orang super yang bisa
mengaturnya. Tapi, katanya, kemampuanku lebih super dari hanya menjadi seorang
presiden. Aku benci dengannya ketika dia mengatakan itu. Kemudian aku bertanya
padanya apa cita-citanya, dia ingin menjadi seorang ilmuan antariksa. Itu
merupakan cita-cita yang tidak pernah terpikir dalam benakku dan saat itu juga,
aku merubah cita-citaku. Cita-cita itu masih kupertahankan sampai sekarang.
Mulai saat itu juga, aku merasa aku menyukainya, karena hanya dialah yang
berhasil membantahku, keinginanku, dan argumenku. Dialah yang mengubah
pandanganku tentang hidup.
Ya.
Aku yakin bahwa aku mulai
menyukainya. Tapi, entahlah dia menyukaiku atau tidak, yang jelas, dia selalu
membicarakan tentang Sinta, gadis itu, yang membuatnya semangat menjalani
hidupnya sekarang yang lebih berat dari yang lalu. Cuma Sinta yang bisa membuat
dirinya tersenyum. Siapapun Sinta aku ingin bertemu dengannya. Ingin. Ingin
sekali melihat siapakah orang yang bisa membuat seorang Adit tersenyum dan
lebih kuat.
Suatu
hari, aku datang lebih siang dari biasanya, karena aku harus mengemas barang.
Orang tuaku sudah menjemputku. Itu artinya aku harus kembali ke kota
rantauanku dan sampai sekarang aku masih menganggap bahwa kotaku yang sekarang
adalah kota rantauan dan kota asalku adalah Bandung, padahal aku tidak
dilahirkan di sana. Tapi, ya sudahlah.
Pagi
itu, seperti biasa, dia sudah berada di sana duduk membelakangiku sambil
memegang palet dan kuasnya. Di hadapannya terpampang sebuah kanvas yang cukup
besar siap untuk disapu oleh kuasnya. Tapi, anehnya, kanvas itu masih bersih,
masih putih dan belum digambari apapun. Aku penasaran, lalu akupun berlari kearahnya
sambil berteriak memanggil namanya. Dia menoleh dan kutangkap ekspresi sedikit
kaget di mukanya.
“Itu
buat apa?” tanyaku padanya.
“Cuma
iseng. Biasa,”
jawabnya enteng.
“Kok
masih kosong?” tanyaku lagi.
“Belum
dapet inspirasi.” jawabnya lagi.
“Lukis
aku aja,”
kataku dengan nada bercanda. Lalu, tampangnya seperti sedang berpikir. Tak lama
kemudian,
“Boleh
aja. Kamu berdiri di sana ya,” katanya sambil menunjuk ke arah batu
di pinggir sungai yang dikelilingi batu-batuan besar.
Kemudian
aku menjelaskan bahwa aku hanya bercanda dan pastinya adalah ide buruk untuk
melukisku, tapi, dia tetap memaksaku untuk duduk di atas batu tadi. Aku pun
menurut. Aku pikir lukisan ini bisa jadi kenangan, lagipula dia pandai melukis
dan lumayan bagus. Jadi, kenapa tidak?
Sudah
satu minggu lebih aku berteman dengannya dan sebenarnya hari ini aku ingin
mengatakan bahwa besok aku akan pulang. Tapi, aku tak bisa mengatakannya, aku
pikir keliatannya tidaklah terlalu penting aku baginya, karena selama satu
minggu ini dia selalu membicarakan tentang Sinta, yang bisa membuatnya
tersenyum lagi dan lagi. Tapi, sampai sekarang aku tidak pernah bertemu
dengannya.
Sambil
dia melukis, seperti biasanya kami bercerita tentang apapun dan siapapun yang
ada di benak kami. Kami selalu terbuka dan mengutarakan pendapat masing-masing.
Saling support dan memberi harapan. Dulu,
aku berpikir bahwa aku bodoh dan hanya bisa melawan saja. Tapi, sungguh, dia
membuatku jatuh cinta dengan kalimatnya. Dia berkata bahwa, aku salah. Aku
hanya melihat hidupku dari pandangan yang sama dengan orang lain. Dia
mengajarkanku untuk melihat hidup dengan sudut pandang yang berbeda, dia
memandang bahwa “rules are made to be
broke” atau semua peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, itu menurutnya.
Aku bingung, dia menjelaskan bahwa peraturan bukanlah segalanya yang akan
membuatmu menuju keberhasilan. Terkadang kamu juga harus melawan beberapa
peraturan untuk membuat keberhasilanmu menjadi lebih berarti. Ketika aku sedih
karena teman-temanku mempunyai nilai dan ketrampilan lebih baik dari aku, dia
hanya menjawab bahwa Tuhan Maha Adil setiap orang mempunyai jalannya sendiri
untuk menuju kesuksesan. Tujuan akhirnya sama, yaitu ingin sukses dan berhasil,
tapi, cara yang diberikan Tuhan untuk melakukannyalah yang berbeda. Dalam hal
ini, kita harus beradu mental. Ikuti apa kata hatimu dan jangan pernah ragu.
Ketika kamu mengikuti mimpi-mimpiku maka, Tuhan juga akan menyertaiku dan mimpi
akan segera ada digenggamanku.
Ditengah-tengah
waktu melukis itu, dia berlari menuju rumah pohon dan datang kembali membawa
dua buah balon berwarna ungu dan biru. Aku masih ingat betul itu.
“Untuk
apa balonnya? Kenapa kamu gak lanjut melukis?” teriakku penasaran.
Tapi,
dia hanya terdiam dan tetap melakukan kesibukannya sendiri. Dia sedang menali
ujung-ujung balon itu dengan tali berwarna putih dan menyobek kertas serta
mengambil bolpoint. Dia memberikan secarik kertas, sebuah bolpoint, dan balon
berwarna ungu itu padaku dan berkata,
“Kamu
punya impiankan? Aku juga. Tulislah dikertas itu. Lalu lipat dan tali diujung
tali satunya. Lalu, kita terbangkan. Balon siapa yang paling tinggi terbangnya,
itulah impian yang akan berjalan mulus”
Lalu,
aku mengikuti perkataannya, aku menulis impianku di kertas itu. Kemudian dia
membantuku untuk menalinya dan kami terbangkan bersama. Untunglah balon kami
tidak tersangkut di pohon. Tak lama setelah kami terbangkan balonnya, hujan
turun. Aku membantunya untuk mengamankan seluruh alat melukisnya. Sudah
beberapa jam berlalu, hujan masih mengguyur. Aku ingin pulang karena sudah
tidak tahan dengan udara dingin yang menerpa. Aku pun memutuskan untuk pulang
ke rumah, persetan kalaupun harus lebih basah lagi. Ketika aku mengatakan
padanya bahwa aku ingin pulang,
“Aku
anter ya. Kan aku cowok. Lebih tua dari kamu lagi,” katanya sambil senyum.
“Gak
perlu. Aku bisa sendiri,”
jawabku menolak. Aku tidak mau merepotkan.
Akan tetapi, dia tetap memaksa. Ku biarkan
dia mengantarku pulang walau harus berhujan-hujan ria sambil berlari. Sampai di
rumah, aku mengajaknya untuk mampir, mengganti baju karena aku tinggal bersama
abangku juga, jadi bisa meminjam baju atau sekedar menghangatkan badan. Akan tetapi, dia menolak. Ya sudahlah
kubiarkan dia pergi.
Paginya
sekitar jam 6 pagi, aku sudah siap di depan teras rumah berharap jika Adit akan
datang untuk mengunjungiku atau sekedar ganti arena bermain, karena dia sudah
tahu rumahku. Sambil berpamitan dengan keluarga besar, aku terus berharap dia
akan datang. Hingga sudah waktunya berangkat menuju Jakarta, Adit tak kunjung
datang. Dengan langkah berat aku berjalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan,
aku melamun sambil mendengarkan MP3
playerku. Hingga aku sadar bahwa lukisan Adit untukku belum selesai. Tapi,
apa boleh buat.
Aku
telah sampai di Jakarta dan sedang bersiap untuk bertolak ke Yogkatarta
menggunakan pesawat. Aku sedih berpisah dengannya. Akan tetapi, The show
must
go
on,
seperti katanya. Hidup masih terus berlanjut walau dia tidak senada dengan
keinginan atau harapan kita.
Berbulan-bulan
kemudian, tak ada kabar darinya. Tapi, suatu sore, di hari Minggu saat aku sedang
membaca novel, Ayahku memanggilku dari dapur, katanya Bibi menelepon.
“Halo,
Bi. Aya naon?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Ieu
aya budak nyari kamu. Lalaki,”
jawabnya.
“Saha
etta namina?” tanyaku penasaran. Jujur waktu itu hatiku berdebar karena ku
yakin kalau itu adalah Adit yang mencariku.
“Bibi
teh teu ngartos. Budakna teu memberitahu.”
“Dia
bilang apa, Bi?” tanyaku semakin penasaran.
“Ieu
si budak memberi
no HPna. Dia nyuruh kamu buat ngirimin nomermu ke dia.”
“Oke.
Mana nomernya?” tanyaku tak sabar. Aku yakin ini dia. Ya, pasti dia.
Tak
lama kemudian Bibi mengirimiku sebuah nomer dan aku tanpa berpikir panjang
langsung mengirim sms kepadanya kalau ini memang aku. Aku menunggu balasan.
Tapi, hingga malam hari tak kunjung dibalas. Aku mulai putus asa. Aku kira itu
dia.
Seminggu
kemudian, ada nomer baru yang masuk dalam HPku. Ya. Itu nomer Adit yang muncul.
Aku sangat senang. Aku langsung membukanya dan membacanya. Bunyinya,
“Aku
telah menyelesaikan lukisanmu itu. Kukirimkan gambarnya melalui emailmu yang
kau berikan waktu itu. Kata Sinta itu bagus. Aku menyukainya dan dia juga suka
sama aku. Tapi, dia tidak suka kamu. Benar katamu, ide buruk melukismu.”
Seketika
itu detak jantungku serasa berhenti sejenak, nadiku sudah tidak berdenyut, aku
kaget.
Aku
ingin sekali bertemu dengannya. Ingin sekali. Tapi bagaimana caranya? Seperti
katanya, hanya ada satu cara, yaitu ikuti mimpi-mimpiku maka, Tuhan juga akan
menyertaiku dan mimpi akan segera ada digenggamanku. Sekarang aku sedang
mengikuti kata hati dan mimpiku, aku harap Tuhan juga sedang membangun harmoni
bersamaku agar aku bisa menggenggam mimpiku dan memeluk dirimu.
Aku hanya berharap bertemu denganmu, bukan mencarimu. Sampai
sekarang aku masih berharap. Terus berharap dan masih berharap.
Suara klakson motor Ninja merah milik Abangku membuyarkan
kenanganku. Ternyata di sudah menjemputku. Aku pun mengambil tas unguku dan
menyeruput kopiku untuk yang terakhir kalinya. Kemudian, aku berjalan dengan malas
menuju pintu kafe dengan lampu berwarna-warni itu. Ku genggam kenop pintu kafe
berwarna kuning keemasan dan sayup-sayup terdengar lagu terakhir dari radio tua
itu, “We might find a place in this world
someday, but at least for now, I’ve gotta go my own way.” Seulas senyum
tipis mengiringi kepergianku sore itu.
Oleh : Ullvi Henida Setyaningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar