Selasa, 30 April 2013

Aku Hanya Berharap Bertemu denganmu, Bukan Mencarimu


Aku bukan penyair dan aku juga bukan penulis. Ini karya amatirku. Tapi ini untukmu yang tercinta. Aku harap kamu suka.
“Baru saja berakhir, hujan di sore ini. Memisahkan keajaiban, melawan indahnya pelangi”. Suara nyanyian Ipank dari radio tua di sebuah kafe tengah kota yang mungkin usianya hampir sama dengan usiaku saat ini, menemani soreku yang gerimis ini.
Ngomong-ngomong soal lagu itu, lagu itu mengingatkanku dengan masa dimana kita tidak perlu khawatir dengan penampilan kita, tentang baju apa yang kita pakai, tentang hidup, dan pikiran ingin tahu tentang apa yang dipikirkan orang tentang kita. Masa dimana aku bebas sebebas-bebasnya.
Hampir seluruh masa kecilku aku habiskan di kota Paris-nya Indonesia. Udara dingin dan sejuk, selalu menemaniku setiap harinya.
Pagi itu, entah hari apa, aku sudah lupa, yang jelas pagi itu merupakan pagi tercerah dalam hidupku. Burung, tumbuhan, angin, kupu-kupu seakan menyatu dalam sebuah harmoni. Pagi itu hari Jumat, seperti biasa aku sedang menunggu sepupu-sepupuku pulang dari sekolah. Masih pagi, masih cerah. Aku ingin bermain, tapi, aku tidak tau harus bermain apa karena tidak punya teman. Kemudian, aku memutuskan untuk pergi dengan sepeda dan keluar dari perumahanku menuju kebun teh Abahku. Abah merupakan panggilan seorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda. Kuambil sepeda tua berwarna pink peninggalan kakakku yang waktu itu sudah SMP.
“Sepeda itu masih cukup layak dipakai, jadi kamu pakai itu dulu”, kata ibuku ketika aku merengek minta dibelikan yang baru.
Tapi, sebenarnya sepeda ini juga tidak jelek-jelek amat. Keranjang putihnya masih bisa digunakan untuk menaruh barang dan belnya pun masih bisa berbunyi kring…kring,
“Bibi aku pergi dulu ya, mau jalan-jalan,” kataku sembari mengayuh sepeda meninggalkan rumah. Iya, aku tinggal bersama bibiku atau dalam bahasa Indonesia adalah adiknya Ayah, karena orang tuaku waktu itu sedang bekerja di kota lain. Jadi, ketika liburan aku selalu dititipkan kepadanya. Tak masalah juga bagiku. Aku senang tinggal bersamanya. Tingginya hampir sama seperti diriku yang sekarang, rambutnya ikal, kulitnya putih, dan matanya agak sedikit kecoklatan dengan senyum yang merekah. Jadi, kutinggalkannya tanpa harus menunggu jawaban darinya. Toh, nanti aku juga akan pulang.
Aku terus mengayuh sepedaku dengan kecepatan konstan, karena jalan yang kulalui sepi, jadi kukayuh lambat-lambat pedalnya. Jalan yang kulalui tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil, jalannya diaspal dengan rapi dan masih basah, karena tadi malam hujan turun cukup deras. Aku berhenti sebentar dan menyalakan musik dengan MP3 playerku dan memasang headsetku. Lalu kulanjutkan perjalanan sambil mendengarkan musik yang tidak terlalu ngebeat dari band terkenal masa itu, Ungu. Aku sedang menyanyikan beberapa bagian kesukaanku, ketika aku melihat jalan setapak yang sangat kecil dan hampir tak terlihat diantara pohon pinus itu.
Kemudian aku memutuskan untuk berhenti dan sekarang aku berdiri di atas sepedaku menghadap ke arah jalan setapak itu. Abahku bilang jangan pernah dekati hutan pinus yang ada di dekat kebuh teh itu, karena akan ada banyak binatang buas dan terkadang ada beberapa orang jahat di dalamnya. Entah Abahku berkata benar atau tidak, tapi, memang, hutan itu terlihat mengerikan dan menjanjikan bahwa di dalamnya ada binatang buas dan orang jahat. Hutannya sangat gelap, mungkin karena cahaya matahari tidak bisa masuk karena ditutupi oleh daun-daun pohon pinus. Pohon pinus di situ sangat tinggi dan besar, serta ditutupi kabut yang cukup tebal. Sedikit terlintas dipikiranku untuk membuktikan apakah perkataan Abahku itu benar atau tidak. Aku ragu. Namun, setelah beberapa lama berpikir, kenapa tidak aku coba? Toh aku juga punya Allah yang akan menyelamatkanku. Lalu, kuputuskan untuk memasukinya. Kutinggalkan sepedaku di mulut jalan setapak sebagai penanda jika aku tidak pernah kembali. Kutanggalkan MP3 playerku dan ku masukan ke saku kanan sweater Nike pinkku. Aku mulai memasuki jalan itu.
Tanah masih basah dan becek. Untung aku menggunakan sepatu kets Adidas jadi kakiku bebas dari lumpur. Jalannya gelap dan berkabut. Sambil terus berjalan, ku tutupi kepalaku dengan tudung sweaterku  dan kumasukkuan kedua tanganku ke dalam saku sweater karena aku tanganku mulai membeku. Aku tak tau sampai kapan akan berjalan dan dimanakah ujung dari jalan ini. Aku nekat dan terus berjalan.
Setelah beberapa lama berjalan aku mendengar ada suara katak, tapi, aku tidak yakin. Lalu aku memutuskan untuk berhenti sebentar dan menajamkan pendengaran. Setelah aku berhenti, ternyata yang aku dengar bukan hanya satu atau dua katak, tapi, banyak sekali suaranya yang saling bersautan. Abahku pernah memberiku dan semua saudaraku pelajaran tentang alam dan salah satunya adalah dimana ada katak, disitu ada air. Entah kenapa aku menjadi bersemangat dan aku mulai berlalri mengikuti suara katak itu. Aku terus berlari dan berlari. Namun, aku tidak menemukannya. Aku merasa putus asa, sebelum akhirnya suara hantaman hebat antar benda diikuti dengan gemericik air membuatku berpikir. Ya! Aku sudah dekat dan dengan langkah enteng aku mengikuti suaranya kembali.
Akhirnya, kutemukan asal suara-suara tadi. Wow! Ternyata suara tadi adalah suara lebih dari puluhan katak dipinggir sungai yang sedang membuat paduan suara. Banyak bunga berwarna kuning dan putih yang juga tumbuh di sana. Airnya jernih. Aku pun langsung menghambur ke sungai. Keadaannya seperti surga yang digambarkan oleh Abah. Ada kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga, ada pula burung-burung kecil di atas pohon pinusnya. Indah sekali. Serasa di langit ke tujuh.
“Hey!” suara teriakan yang membuyarkan kedamaianku.
Aku kaget dan langsung terjatuh ke belakang sambil mencari dari mana arah suara itu. Ternyata itu adalah suara teriakan seorang anak lelaki di atas rumah pohon. Dia memandangku sambil melotot. Ingin sekali aku lari dari sana, tapi, aku tak bisa karena kakiku terikat oleh akar-akar pohon yang ada di sana. Dia pun mulai meninggalkan tempatnya dan menuruni pohon menuju ke arahku. Aku sangat takut, tapi, aku juga tidak bisa lari.
Dia pun sampai di hadapanku, dan langsung merogoh saku celana gombrohnya dan mengeluarkan sebatang pisau berwarna perak yang masih mengkilap. Aku sangat takut. Aku takut di bunuh. Kemudian dia berjongkok di depanku dengan posisi akan meraih kaki-kakiku. Aku pikir dia akan memotong kakiku agar aku tidak bisa lari kemana-mana dan akan dimakannya aku sebagai tumbal, persembahan, atau entah apalah itu. Aku kira aku dibunuh, tapi, ternyata dia meraih akar-akar yang tanaman yang membelit kakiku dan memotongnya dengan pisau yang dia keluarkan tadi. Aku segera menarik kakiku kalau-kalau pikirnan yang aku pikirkan tadi benar adanya. Hanya berjaga-jaga saja. Kemudian, dia memandangiku dengan raut muka keheranan. Dalam keheningan sesaat itu, terdengar suara asing dari dalam perutku. Aku lupa kalau aku belum sarapan pagi, berarti aku lapar. Aku sampai lupa hal ini karena saking ketakutan. Dia pun mendengar suara perutku itu dan sedikit menyunggingkan bibirnya. Dia tersenyum. Aku keheranan, dan sebelum pikiranku melayang kemana-mana, dia berkata, “Ayo ikuti aku. Kamu pasti lapar,” katanya dengan nada ramah. Aku bingung setengah mati. Tapi, saat itu aku malas untuk berpikir terlalu jauh karena sudah sangat lapar dan aku memutuskan untuk mengikutinya menaiki pohon tadi. Ohya, menurut ingatanku, itu adalah salah satu pohon yang bukan pohon pinus. Kami pun makan bersama dengan roti selai.
Singkat cerita, kami berkenalan. Dia lebih tinggi dariku, dengan rambut lurus berwarna hitam, dan kurus. Namanya Raditya Siregar. Aku lupa nama tengahnya, tapi intinya, dia bermarga Siregar. Dia dari Batak dan menetap di Bandung karena orang tuanya mempunyai bisnis di Bandung. Dia baru pindah ke Bandung, sehingga dia tidak mempunyai teman. Aku bertanya padanya siapa yang menemukan tempat ini. Aku sangat penasaran, bertahun-tahun aku tinggal disekitarnya, tapi, kenapa bukan aku yang menemukannya dan bahkan aku tidak mengetahuinya. Dia memberitahuku bahwa ada seorang gadis seumuranku yang memberitahunya. Namanya Sinta. Aku hafal nama seluruh warga perumahanku berserta anak-anaknya, tapi, aku tidak pernah dengar yang namanya Sinta. Lama bercerita kesana kemari, akhirnya aku memutuskan untuk pulang, karena hari sudah sore dan sebelum aku di ceramahi oleh Bibi. Aku pamit dan aku berjanji akan bermain lagi dengannya besok.
Hari-hari selanjutnya aku datang ke sana dan kami bermain macam-macam permainan. Dia sangat baik. Sungguh, dia merupakan teman terbaikku. Pada intinya dia mengajarkanku tentang hidup, bagaimana cara menghadapinya. Serta bagaimana menentukan cita-cita. Dulu, cita-citaku adalah menjadi presiden, karena menurutku negara ini sangat amat membutuhkan orang-orang super yang bisa mengaturnya. Tapi, katanya, kemampuanku lebih super dari hanya menjadi seorang presiden. Aku benci dengannya ketika dia mengatakan itu. Kemudian aku bertanya padanya apa cita-citanya, dia ingin menjadi seorang ilmuan antariksa. Itu merupakan cita-cita yang tidak pernah terpikir dalam benakku dan saat itu juga, aku merubah cita-citaku. Cita-cita itu masih kupertahankan sampai sekarang. Mulai saat itu juga, aku merasa aku menyukainya, karena hanya dialah yang berhasil membantahku, keinginanku, dan argumenku. Dialah yang mengubah pandanganku tentang hidup.
Ya. Aku yakin bahwa aku mulai menyukainya. Tapi, entahlah dia menyukaiku atau tidak, yang jelas, dia selalu membicarakan tentang Sinta, gadis itu, yang membuatnya semangat menjalani hidupnya sekarang yang lebih berat dari yang lalu. Cuma Sinta yang bisa membuat dirinya tersenyum. Siapapun Sinta aku ingin bertemu dengannya. Ingin. Ingin sekali melihat siapakah orang yang bisa membuat seorang Adit tersenyum dan lebih kuat.
Suatu hari, aku datang lebih siang dari biasanya, karena aku harus mengemas barang. Orang tuaku sudah menjemputku. Itu artinya aku harus kembali ke kota rantauanku dan sampai sekarang aku masih menganggap bahwa kotaku yang sekarang adalah kota rantauan dan kota asalku adalah Bandung, padahal aku tidak dilahirkan di sana. Tapi, ya sudahlah.
Pagi itu, seperti biasa, dia sudah berada di sana duduk membelakangiku sambil memegang palet dan kuasnya. Di hadapannya terpampang sebuah kanvas yang cukup besar siap untuk disapu oleh kuasnya. Tapi, anehnya, kanvas itu masih bersih, masih putih dan belum digambari apapun. Aku penasaran, lalu akupun berlari kearahnya sambil berteriak memanggil namanya. Dia menoleh dan kutangkap ekspresi sedikit kaget di mukanya.
“Itu buat apa?” tanyaku padanya.
“Cuma iseng. Biasa,” jawabnya enteng.
“Kok masih kosong?” tanyaku lagi.
“Belum dapet inspirasi.” jawabnya lagi.
“Lukis aku aja,” kataku dengan nada bercanda. Lalu, tampangnya seperti sedang berpikir. Tak lama kemudian,
“Boleh aja. Kamu berdiri di sana ya,” katanya sambil menunjuk ke arah batu di pinggir sungai yang dikelilingi batu-batuan besar.
Kemudian aku menjelaskan bahwa aku hanya bercanda dan pastinya adalah ide buruk untuk melukisku, tapi, dia tetap memaksaku untuk duduk di atas batu tadi. Aku pun menurut. Aku pikir lukisan ini bisa jadi kenangan, lagipula dia pandai melukis dan lumayan bagus. Jadi, kenapa tidak?
Sudah satu minggu lebih aku berteman dengannya dan sebenarnya hari ini aku ingin mengatakan bahwa besok aku akan pulang. Tapi, aku tak bisa mengatakannya, aku pikir keliatannya tidaklah terlalu penting aku baginya, karena selama satu minggu ini dia selalu membicarakan tentang Sinta, yang bisa membuatnya tersenyum lagi dan lagi. Tapi, sampai sekarang aku tidak pernah bertemu dengannya.
Sambil dia melukis, seperti biasanya kami bercerita tentang apapun dan siapapun yang ada di benak kami. Kami selalu terbuka dan mengutarakan pendapat masing-masing. Saling support dan memberi harapan. Dulu, aku berpikir bahwa aku bodoh dan hanya bisa melawan saja. Tapi, sungguh, dia membuatku jatuh cinta dengan kalimatnya. Dia berkata bahwa, aku salah. Aku hanya melihat hidupku dari pandangan yang sama dengan orang lain. Dia mengajarkanku untuk melihat hidup dengan sudut pandang yang berbeda, dia memandang bahwa “rules are made to be broke” atau semua peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, itu menurutnya. Aku bingung, dia menjelaskan bahwa peraturan bukanlah segalanya yang akan membuatmu menuju keberhasilan. Terkadang kamu juga harus melawan beberapa peraturan untuk membuat keberhasilanmu menjadi lebih berarti. Ketika aku sedih karena teman-temanku mempunyai nilai dan ketrampilan lebih baik dari aku, dia hanya menjawab bahwa Tuhan Maha Adil setiap orang mempunyai jalannya sendiri untuk menuju kesuksesan. Tujuan akhirnya sama, yaitu ingin sukses dan berhasil, tapi, cara yang diberikan Tuhan untuk melakukannyalah yang berbeda. Dalam hal ini, kita harus beradu mental. Ikuti apa kata hatimu dan jangan pernah ragu. Ketika kamu mengikuti mimpi-mimpiku maka, Tuhan juga akan menyertaiku dan mimpi akan segera ada digenggamanku.
Ditengah-tengah waktu melukis itu, dia berlari menuju rumah pohon dan datang kembali membawa dua buah balon berwarna ungu dan biru. Aku masih ingat betul itu.
“Untuk apa balonnya? Kenapa kamu gak lanjut melukis?” teriakku penasaran.
Tapi, dia hanya terdiam dan tetap melakukan kesibukannya sendiri. Dia sedang menali ujung-ujung balon itu dengan tali berwarna putih dan menyobek kertas serta mengambil bolpoint. Dia memberikan secarik kertas, sebuah bolpoint, dan balon berwarna ungu itu padaku dan berkata,
“Kamu punya impiankan? Aku juga. Tulislah dikertas itu. Lalu lipat dan tali diujung tali satunya. Lalu, kita terbangkan. Balon siapa yang paling tinggi terbangnya, itulah impian yang akan berjalan mulus”
Lalu, aku mengikuti perkataannya, aku menulis impianku di kertas itu. Kemudian dia membantuku untuk menalinya dan kami terbangkan bersama. Untunglah balon kami tidak tersangkut di pohon. Tak lama setelah kami terbangkan balonnya, hujan turun. Aku membantunya untuk mengamankan seluruh alat melukisnya. Sudah beberapa jam berlalu, hujan masih mengguyur. Aku ingin pulang karena sudah tidak tahan dengan udara dingin yang menerpa. Aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah, persetan kalaupun harus lebih basah lagi. Ketika aku mengatakan padanya bahwa aku ingin pulang,
“Aku anter ya. Kan aku cowok. Lebih tua dari kamu lagi,” katanya sambil senyum.
“Gak perlu. Aku bisa sendiri,” jawabku menolak. Aku tidak mau merepotkan.
Akan tetapi, dia tetap memaksa. Ku biarkan dia mengantarku pulang walau harus berhujan-hujan ria sambil berlari. Sampai di rumah, aku mengajaknya untuk mampir, mengganti baju karena aku tinggal bersama abangku juga, jadi bisa meminjam baju atau sekedar menghangatkan badan. Akan tetapi, dia menolak. Ya sudahlah kubiarkan dia pergi.
Paginya sekitar jam 6 pagi, aku sudah siap di depan teras rumah berharap jika Adit akan datang untuk mengunjungiku atau sekedar ganti arena bermain, karena dia sudah tahu rumahku. Sambil berpamitan dengan keluarga besar, aku terus berharap dia akan datang. Hingga sudah waktunya berangkat menuju Jakarta, Adit tak kunjung datang. Dengan langkah berat aku berjalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan, aku melamun sambil mendengarkan MP3 playerku. Hingga aku sadar bahwa lukisan Adit untukku belum selesai. Tapi, apa boleh buat.
Aku telah sampai di Jakarta dan sedang bersiap untuk bertolak ke Yogkatarta menggunakan pesawat. Aku sedih berpisah dengannya. Akan tetapi, The show must go on, seperti katanya. Hidup masih terus berlanjut walau dia tidak senada dengan keinginan atau harapan kita.
Berbulan-bulan kemudian, tak ada kabar darinya. Tapi, suatu sore, di hari Minggu saat aku sedang membaca novel, Ayahku memanggilku dari dapur, katanya Bibi menelepon.
“Halo, Bi. Aya naon?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Ieu aya budak nyari kamu. Lalaki,” jawabnya.
“Saha etta namina?” tanyaku penasaran. Jujur waktu itu hatiku berdebar karena ku yakin kalau itu adalah Adit yang mencariku.
“Bibi teh teu ngartos. Budakna teu memberitahu.”
“Dia bilang apa, Bi?” tanyaku semakin penasaran.
“Ieu si budak memberi no HPna. Dia nyuruh kamu buat ngirimin nomermu ke dia.”
“Oke. Mana nomernya?” tanyaku tak sabar. Aku yakin ini dia. Ya, pasti dia.
Tak lama kemudian Bibi mengirimiku sebuah nomer dan aku tanpa berpikir panjang langsung mengirim sms kepadanya kalau ini memang aku. Aku menunggu balasan. Tapi, hingga malam hari tak kunjung dibalas. Aku mulai putus asa. Aku kira itu dia.
Seminggu kemudian, ada nomer baru yang masuk dalam HPku. Ya. Itu nomer Adit yang muncul. Aku sangat senang. Aku langsung membukanya dan membacanya. Bunyinya,
“Aku telah menyelesaikan lukisanmu itu. Kukirimkan gambarnya melalui emailmu yang kau berikan waktu itu. Kata Sinta itu bagus. Aku menyukainya dan dia juga suka sama aku. Tapi, dia tidak suka kamu. Benar katamu, ide buruk melukismu.
Seketika itu detak jantungku serasa berhenti sejenak, nadiku sudah tidak berdenyut, aku kaget.
Aku ingin sekali bertemu dengannya. Ingin sekali. Tapi bagaimana caranya? Seperti katanya, hanya ada satu cara, yaitu ikuti mimpi-mimpiku maka, Tuhan juga akan menyertaiku dan mimpi akan segera ada digenggamanku. Sekarang aku sedang mengikuti kata hati dan mimpiku, aku harap Tuhan juga sedang membangun harmoni bersamaku agar aku bisa menggenggam mimpiku dan memeluk dirimu.
Aku hanya berharap bertemu denganmu, bukan mencarimu. Sampai sekarang aku masih berharap. Terus berharap dan masih berharap.
Suara klakson motor Ninja merah milik Abangku membuyarkan kenanganku. Ternyata di sudah menjemputku. Aku pun mengambil tas unguku dan menyeruput kopiku untuk yang terakhir kalinya. Kemudian, aku berjalan dengan malas menuju pintu kafe dengan lampu berwarna-warni itu. Ku genggam kenop pintu kafe berwarna kuning keemasan dan sayup-sayup terdengar lagu terakhir dari radio tua itu, “We might find a place in this world someday, but at least for now, I’ve gotta go my own way.” Seulas senyum tipis mengiringi kepergianku sore itu.



Oleh : Ullvi Henida Setyaningsih






Tidak ada komentar:

Posting Komentar